06. Still The Daddy

235 23 0
                                        

[12 Juli 2019]

Ini bukan pertama kali aku pergi ke Jogja untuk menemui cowok. Sudah tiga cowok berbeda berada di Jogja dan mungkin ini yang terakhir. Karena aku pikir, aku tidak ingin menemukan kembali kenangan di tempat ini. Asing dan berjarak. Aku ingin seseorang yang dekat.

Ngomong-ngomong, Mas Dedi telah memesankan ojek online untukku yang sudah keluar dari Giwangan. Tidak susah untuk menemukanku yang seperti orang hilang arah dan berbasa-basi ria dengan mas-mas ojek untuk mengisi kekosongan udara di antara kami.

"Mau kemana, Mas?"

"Mau ke rumah Oom."

Aku nggak salah kalo mau ke rumah Oom. Oom kan macem-macem. Dari yang mulai adik dari orangtua sampai Oom ketemu gedhe. Ayah pun. Ayah yang kandung atau ayah yang manis. Sugar daddy, i mean.

"Baru pertama kali ke Jogja?"

"Enggak, sih. Tapi pertama kali sampe Giwangan sendiri. Biasanya dijemput, sekarang baru nggak bisa dijemput. Makanya, diorderin sampean."

Entah kenapa aku bisa menjawab sepanjang itu. Mungkin karena ingin menghentikan obrolan ini dan segera cepat sampai ke rumah Mas Dedi. Jadi, aku memberikan kemungkinan jawaban dari pertanyaan berikutnya dari abang ini.

"Yang itu, Mas. Yang ada pagernya."

Ini adalah pengalaman kedua pergi ke rumah Mas Dedi. Aku masih ingat warna dan detail rumah ini dari pengalaman pertama. Mas Dedi rupanya sudah menungguku di teras samping rumah.

"Berapa, Pak?"

"Sudah dibayar, ya, Mas."

"Oh, iya. Makasih, Mas," ujarku sambil memberikan helm kembali kepada pengemudi.

Mas Dedi menyambutku dan membawaku masuk ke kamarnya. "Capek, Dek?"

"Pusing, sih. Udah lama nggak naik bus soalnya."

"Mau minum nggak? Atau mau makan? Mas udah pesen makanan buat kita makan bareng."

"Boleh, deh, Mas. Makan aja soalnya aku juga laper. Tadi pulang kerja juga belum sempet makan."

"Udah agak dingin kayaknya. Ini jam sembilan, tadi mas pesen jam tujuh."

"Maaf, Mas. Tadi di daerah perbatasan emang baru ada perbaikan jalan. Aku nggak tahu, pas baca Map baru ngeh kalau sampe dua jam nggak bisa lewat mulus."

"Nggak masalah. Yuk, makan. Mas udah laper."

Kesian Mas Dedi yang pasti udah laper karena nungguin aku dari jam empat sore. Harusnya, aku sampai di Jogja sekitar jam tujuh, eh ini malah... hampir mendekati jam tidur. Ya gimana? Baru ada perbaikan jalan soalnya. Presiden kita ini baru gencar-gencarnya melakukan pembangunan jalan.

[]

Saat pertama kali aku berada di rumah Mas Dedi, yang banyak aku lakukan hanyalah berada di kamarnya yang dingin dengan menggunakan koneksi internet gratis. Di rumah, dia ada kos yang mana ada fasilitas wifi. Jadi, aku menggunakan untuk mengecek media sosial. Sesekali aku membalas pesan yang masuk ke dalam media sosialku.

Saat itu tidak ada saudara yang datang ke rumah Mas Dedi, jadi aku bisa duduk di ruang tamu atau ruang makan ketika aku tidak melakukan apa-apa. Aku tidak tertarik untuk menonton acara di TV yang dihidupkan di rumah. Jadi, aku hanya duduk diam dan menebak-tebak hal apa yang akan kami lakukan pada hari ini.

Saat pertama, Mas Dedi melakukan pijat refleksi di rumah. Dia memanggil tukang pijat ke rumah, sementara itu aku tidur. Karena kelelahan, aku bisa dipastikan mendengkur. Lalu, malamnya kami hanya makan di luar dan tidur. Tidur pun ada fase dimana kami tidak tidur beneran.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang