08

284 52 0
                                    

"Bin kakak mohon ya, kakak mau belajar Minggu depan kakak mau ikut olimpiade,Bin" suara Arin terdengar amat sangat memohon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bin kakak mohon ya, kakak mau belajar Minggu depan kakak mau ikut olimpiade,Bin" suara Arin terdengar amat sangat memohon.

Iya, pagi Minggu yang harusnya sudah Arin rencanakan untuk belajar harus terganggu akibat Soobin masuk kedalam kamarnya sambil memaksanya untuk main. Arin benar-benar tidak bisa. Dan jahatnya Soobin tidak peduli dengan ketidak bisaan Arin. Bersikap egois memang sudah melekat dengan karakternya.

Soobin menarik tubuh Arin menjauh dari meja belajar "aku kasih waktu 20menit dari sekarang" kata Soobin mendorong pelan Arin ke kamar mandi.

Pintu kamar mandi di tutup dari luar, Arin terdiam beberapa saat di sana. Kesal sekali sumpah, matanya memanas. Soobin lagi lagi tidak mengerti dan lagi lagi membuatnya menangis "jahat" gumam Arin.

Padahal Arin belajar mati matian untuk melindunginya tapi Soobin kenapa bertindak sangat menyiksa seperti ini.

20 menit kemudian...

Arin turun kebawah, ia sudah rapi. Matanya menemukan sosok Soobin yang masih berleha-leha sambil main hp di sana.

"Bin" panggil Arin singkat. Jujur, Arin masih sedikit sakit hati atas sikap Soobin.

"eh,kak Arin hehe udah rapi"

"nggak jadi pergi?" tanya Arin. Karena ya ia masih melihat Soobin menggunakan kaos rumahan serta celana pendeknya.

"perginya bukan sama aku ya kak"

"terus?"

"sama bang Mark" jawabnya dengan senyuman. Dan kembali Arin ingin menangis. Jahat sekali.

.

"mark please pahamin posisi gue ya, gue lagi nggak mau main. Minggu depan gue mau ikut olimpiade, gue udah janji sama pak Yuta buat dapat juara 1. Jadi nggak apa-apa kan kalo kita disini aja?" Arin dan Mark ada di sebuah cafe, Arin mengeluarkan beberapa buku dari dalam ranselnya hingga membuat setengah meja di penuhi buku "atau kalo Lo mau pulang juga gapapa" lanjut Arin mulai membuka buku.

Bukannya marah, Mark merasa kasihan akan gadis di depannya ini. Ia rela menyusahkan dirinya sendiri hanya untuk Soobin, Mark percaya sekarang kalau Arin sangat amat menyayangi Soobin.

"sebegitu sayangnya ya elo sama Soobin?" pertanyaan Mark mengangkat wajah Arin. Arin menatap Mark bingung. "lo ikut olimpiade biar Soobin nggak di skor kan" lanjut Mark

"kok?"

"waktu itu gue juga ada disana"

Arin membulatkan matanya, kalau Mark ada disana, berati Mark melihat ia menangis kan? "berarti lo liat gue nangis dong?"

Mark mengangguk dengan seulas senyum
"sayang banget ya lo sama Soobin?" Mark mengulang kembali pertanyaannya.

Arin menghela tanpa berfikir dua kali gadis yang sekarang memiliki rambut sebahu itu mengangguk "banget. Matipun kayaknya gue rela cuma buat dia" jawab Arin dengan kekehan yang nyata sekali di buat-buat.

"sekalipun dia sering nyusahin elo?"

Arin kembali mengangguk

Mereka diam sesaat, sebelum akhirnya Arin kembali bersuara "sebenarnya gue tumbuh tanpa adanya kasih sayang dari bunda dan Ayah. Mereka sibuk kerja, gue dititipin ke baby sitter yang kerjaannya suka marah marah ke gue..." entah angin dari mana tanpa diminta Arin tiba-tiba menceritakan keadaan masa kecilnya "...jadi waktu Soobin mulai sekolah dan mulai sering ditinggal bunda sama Ayah, gue udah bertekad buat jagain dia dengan nyawa gue. Gue nggak biarin dia kena marah baby sitter. Gue juga nggak mau dia tumbuh dengan ngerasa kurangnya kasih sayang dari ayah bunda, makanya gue selalu berusaha buat nunjukin kalau selama ada gue dia nggak bakal kekurangan kasih sayang apapun" lanjut Arin. Mark bisa lihat tangan kecil itu meremas kuat pena ditangannya.

"tapi bukannya nggak adil ya, lo berusaha mati-matian buat jadi sosok kakak dan bunda sekaligus. Sementara dia buat jadi sosok adik yang baik pun nggak bisa"

"gue nggak peduli dia adik yang baik atau bukan. Selama dia baik-baik aja dan bahagia gue rasa itu udah cukup buat gue"

"bohong" tutur Mark cepat. Mata Arin yang bergetar tidak bisa membohongi Mark "sebenarnya lo kecewa kan sama Soobin"

"ngg-"

"lo pernah bilang ke gue dulu sekaliii.. kalau lo capek ngurusin adik lo"

Arin menatap Mark cepat, matanya memancarkan kebingungan. "kapan? Gue ngg-"

Mark tersenyum ia usap punggung tangan Arin "gue Lee Minhyung,Rin" potongnya lagi. Dan mata Arin langsung membesar saat mendengar nama yang tidak pernah ia lupakan itu.

Lee Minhyung atau Mark adalah teman smp Arin dulu, Arin jelas tidak pernah lupa akan sosok itu. Dia teman yang selalu ada, teman yang selalu membela Arin jika teman-teman sekelas mulai membahas orangtua, dan mungkin, dia juga teman yang satu-satunya tau bagaimana lelahnya Arin merawat Soobin. Usia yang dulu bahkan jauh dari kata remaja memaksanya untuk bertindak dewasa. Berpura baik-baik saja di depan semua, tapi pecah di saat sendiri.

Arin ingat ia pernah menangis pada Mark gara-gara Soobin ketahuan memukul teman sekelasnya. Waktu itu arin baru kelas satu smp, dan Soobin kelas enam sd. Untuk tingkat anak sd, Soobin nakalnya di atas rata-rata. Suka memukul temannya dan kadang tak jarang mencuri uang teman sekelasnya.

“waktu gue tanya kita pernah saling kenal apa enggak. Kenapa lo jawabnya enggak?” tanya Arin

Mark sudah mengambil alih duduk di samping Arin “maaf hehe”

“lo banyak berubah. Dulu nggak sekeren ini deh kayaknya” Arin kembali bersuara.

Waktu kelas tiga smp Arin ingat Mark pamit kepadanya untuk tinggal di Kanada. Tak menyangka dua tahun lebih sudah berlalu, dan Mark sangat amat beda dengan Minhyung yang dulu. Sekarang dia sangat tampan.

Mark hanya membalas ucapan Arin dengan gelak tawa ringan. Lalu mereka kembali diam, kembali melanjutkan aktivitas belajar.

 Lalu mereka kembali diam, kembali melanjutkan aktivitas belajar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓]Take My Brother AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang