7

21 8 3
                                    

Aku terpaku di depan ambang pintu begitu melihat sosok kak Ali berdiri bersandar di dinding luar kelas. kebanyakan anak anak yg sebagian besar perempuan mencari perhatian padanya, tapi tak sekalipun digubris. Kepalanya menoleh begitu melihatku sudah berdiri menatapnya. Sedetik kemudian kepalaku menunduk.

"Ayo."

Aku mendongak bingung. Dia masih memasang wajah datar.

"Ayo kemana kak maksudnya?"

Kak Ali mendecak lidah, "Pulang. Gue anter."

Tanpa menunggu jawabanku, dia melenggang begitu saja bersamaan dengan gerombolan anak lain yang berlarian bergegas pulang. Aku mengernyit bingung. Hingga akhirnya aku menepuk jidat. Baru ingat tentang kejadian di kantin tadi.

Kak Ali menoleh dengan tatapan matanya yang seolah menyuruhku untuk cepat menyusulnya. Mau tak mau kakiku melangkah menurut.

"Ca!" Ana mencekal pergelangan tanganku membuatku tersentak.

"Apa?"

"Lo beneran mau pulang sama Kak Ali?" Tunjuknya ke arah punggung Kak Ali yang semakin menjauh.

Aku mengangkat bahu, "Nggak tau. Gue juga takut kalo misalnya gue nolak, An."

Ana mendesah, "terserah Lo sih. Tapi pasti ada apa apanya tuh." Cibirnya. Aku mengangkat bahu dan pamit duluan menyusul kak Ali.

"Ca!!!"

Aku menoleh cepat ke arah sumber suara. Tadi yang manggil Ana, sekarang malah Revan. Huft. Terpaksa aku kembali berhenti setelah beberapa meter berjalan.

"Apa, Van?" Tanyaku malas. Yang ditanya malah main tarik tanganku tanpa permisi pergi dari tempatku berdiri.

"Eh eh, Lo kok narik narik tangan gue sih?" Sengitku berusaha melepas pegangannya tapi tetap saja tak bisa. Tenaga Revan jauh lebih besar.

"Pulang sama gue yuk, Ca." Kata Revan melepas tangannya dan menyengir. Mataku menyipit heran. Sikapnya sangat aneh. Bahkan ini sudah bukan Revan banget yang dengan baik hatinya ikhlas menawarkan diri mengantarku pulang.

Posisi kita berada di depan gerbang sekolah. Agak jauh dari tempat parkir. Tanganku terulur menyentuh kening Revan.

"Lo nggak sakit kan?" .

Revan mendecak lidah menepis tanganku, "gue masih waras. Sehat Wal Afiat. Makanya gue nawarin Lo pulang. Mau nggak?" Ketusnya.

Aku tertawa lebar mendengarnya dan geleng geleng kepala. "Kewarasan Lo diragukan karena nawarin nganter gue pulang!" Kataku dan kembali tertawa puas.

Revan mendelik ke arahku, "yaudah kalau Lo nggak mau ya nggak masalah. Sono sama Bang Ali Lo. Biar nanti lo dia jadiin sebagai pacarnya." Seringainya cuek dan bersiap menyalakan mesin motor di hadapannya.

Reflek, tanganku mencegah jaketnya dan mengangguk cepat. Revan tertawa meledek. Aku harus cepat menaiki jok motor Revan sebelum Kak Ali menyadari kalau aku sudah menghilang darinya.

Sedetik kemudian motor Revan melesat membelah jalan raya yang memadat. Revan membawa motor lumayan ngebut membuat aku harus berpegangan pada pinggangnya.

Tanpa di duga saat ditengah jalan, ada suara klakson motor yang terus membunyikan ke arah kita dari belakang. Aku menoleh, dan mataku membulat sempurna saat ternyata yang melakukan itu adalah Kak Ali! Dia mengejar dari belakang. Revan yang seolah tahu keberadaannya, semakin menarik gas dalam hingga membuat tubuhku tertarik ke belakang. Aku berpegangan kuat sampai memeluk Revan.

Keahlian Revan mengendarai motor tak diragukan lagi. Meski butuh beberapa lama untuk menghindar dari kejaran Kak Ali, Revan berhasil membawa kita lolos dengan melewati jalanan yang bahkan belum aku ketahui. Aku menghembuskan nafas lega.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I L Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang