Satu-Nol

166 38 0
                                    

Fajrin menatap Sheza dengan mata terbelalak besar, sementara Sheza yang kini membiarkan tubuhnya dikuasai oleh Galih itu membalas tatapan Fajrin dengan dingin, bahkan lebih seperti menatap penuy kebencian. Bukan berarti Sheza tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri, karena ia pun dapat merasakan dengan jelas bagaimana perasaan Galih saat itu. Benci, marah, dan kecewa.

"Panggil Lussi. Kita bicara." Meski itu suara Sheza, namun di telinga Fajrin itu seperti Galih yang berbicara langsung.

Fajrin bukanlah orang yang percaya dengan hal-hal mistis seperti kerasukan ataupun mediasi, tapi ia kini percaya bahwa Sheza, muridnya, dalam pengaruh sosok yang sangat ia kenal. Sosok yang sempat ia anggap sebagai sahabat, namun berakhir menjadi rival hanya karena keegoisan kekanakkan masa SMA.

Setelah memanggil Lussi dengan alasan tak jelas, Fajrin menarik Lussi untuk pergi ke teras lobi, tempat Sheza dan Zacky berdiri menghadap ke kehampaan jalan aspal di depan teras lobi. Dengan bertanya-tanya, tentu saja Lussi sangat keberatan untuk diajak ke tempat ini malam-malam. Namun, melihat dua muridnya di sana, ia tak mungkin menolak Fajrin. Mungkin ini ada hubungannya dengan dua muridnya itu.

"Sheza, Zacky?" panggil Lussi heran.

Zacky sedikit memutar kepala, sementara Sheza masih diam memunggungi kedua gurunya dengan tubuh tegak dan kaku bagaikan patung. Zacky memberi isyarat pada dua guru itu untuk tidak bicara dengan menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya. Fajrin tentu saja paham situasinya, tapi tidak dengan Lussi. Namun, Lussi memilih untuk diam meski kekhawatiran dan rasa penasaran membuat keningnya berkerut.

Sheza mengangkat kedua tangannya, berkacak pinggang dan membalikkan badannya. Ia menundukkan kepala. Kedua matanya terpejam, meski sesekali terbuka namun kembali tertutup ketika pencahayaan di lobi mengganggu sosok yang kini merasukinya. Bukan lagi Galih. Bukan pula salah satu dari empat anak Pramuka itu. Kini, sosok yang memasukinya adalah Sepuh, sosok yang dituakan dan dihormati, yang telah mengikat kelima anak Pramuka itu.

"Kuring bakal nganteurkeun anjeun, sakumaha anu dijanjikeun ku lima babaturan anjeun," ujr Sepuh dalam tubuh Sheza. Suara Sheza terdengar parau, namun berat dan dalam. [Saya akan bawa kalian, sesuai janji kelima teman kalian]

"Hah?!" seru Lussi, tampak tak terima. "Sheza, kamu bicara apa?"

Fajrin mencengkeram lengan Lussi. "Lus, Galih dan yang lain datang ke sini."

"Kamu ngomong apa, sih? Mereka udah nggak ada. Jangan ngada-ngada, deh!" Lussi yang dipaksa dibawa ke sini pun tampak sangat tak terima, dan semakin tak terima begitu mendengar ucapan Fajrin yang baginya tak masuk akal. "Sheza, kamu kenapa? Zacky, ada apa dengan Sheza?" Meski begitu, ia tetap mencoba bicara dengan sabar pada muridnya.

Zacky melirik, menatap Sheza dari sisi samping. Ia menggeleng untuk memberikan jawaban pada Lussi. Ia tidak bisa berkomentar apa-apa. Pikirannya penuh dengan rasa cemas. Menjadi mediator untuk makhluk halus lemah saja sudah membebani Sheza, dan kini Sheza harus menjadi mediator untuk sosok kuat.

"Sadayana tujuh anjeun parantos nerapkeun aturan." Kembali, Sheza dalam kuasa Sepuh pun berucap. "Panghianatan, hate, sapatemon, nyandak, sareng ngarusak alam. Emut naon anu anjeun lakukeun." Sheza melangkah mendekati Lussi dan Fajrin. "Hukuman kudu dijunjung." [Kalian bertujuh tidak mematuhi aturan. Pengkhianatan, kebencian, bersenggama, mengambil, dan merusak alam. Hukuman harus ditegakkan]

Lussi membulatkan mata, tampak mulai paham dengan situasi saat ini. Ia menutup mulut, mencoba menahan luapan rasa takut dan terkejutnya. Ia memang bukan orang Sunda, tapi ia tinggal di Bogor semasa kecilnya, tahu betul Bahasa Sunda yang dilontarkan Sheza.

Zacky mendadak bertingkah aneh. Ia terlonjak kecil dan langsung menyingkirkan tubuhnya. Ia melihat kelima sosok anak Pramuka itu berdiri di kedua sisi Sheza. Rasanya, Zacky cukup paham dengan apa yang akan terjadi di tengah situasi ini.

"Madame, Pak," panggil Zacky. "Percepatlah, atau Sheza akan mati malam ini. Ini salah Madame dan Bapak. Selesaikan apa yang memang menjadi ganjalan kelima teman Madame dan Bapak. Saya mohon." Zacky yang terkenal dingin dan tak banyak bicara itu bahkan membungkuk untuk memohon, hal yang amat jarang ia lakukan.

"Ma-Maaf!" ujar Fajrin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca oleh rasa takut. Bahkan, suaranyabterdengar bergetar. "A-Apa yang harus kami lakukan? Kami tahu kami berdua salah, dan itu membuat kalian berlima meninggal. Apa yang bisa kami lakukan untuk membalas kes-"

"Nggak!" seru Lussi memotong ucapan Fajrin. "Kita nggak salah apa-apa. Itu salah mereka sendiri yang nggak mau ikut kita turun dan maksa untuk tetap mendaki. Mereka yang bodoh masuk ke goa itu saat badai. Kita nggak salah apa-apa."

"Madame," sebut Zacky dingin. Melihat betapa Zacky menahan diri untuk tidak marah membuat Lussi bergidik dan terdiam. "Kembalikan batu yang kalian ambil dari sungai. Pergi ke goa itu secepatnya, bawa bantuan untuk membuka goa, temukan kelima teman kalian. Hanya itu... Hanya itu yang harus kalian lakukan."

Lussi membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang diucapkan Zacky yang seakan tahu apa yang telah terjadi.

"Dua puluh lima taun urang antosan," ujar Sheza bersuara parau dan berat. "Abdi henteu ngagaduhan niat jahat.  Abdi ngan ukur ngabantosan barudak ieu méréskeun naon anu dicekel aranjeunna.  Abdi mastikeun yén aranjeunna henteu ngarugikeun manusa." [Dua puluh lima tahun saya menunggu. Saya tidak ada niat jahat. Saya hanya membantu anak-anak ini menyelesaikan apa yang membuat mereka tertahan. Saya memastikan mereka tidak merugikan manusia]

Zacky mengangguk paham. "Nuhun, Sepuh, nuhun." Zacky menepuk punggung Sheza dengan agak kuat, tapi tidak akan membuat Sheza sakit. Ia melakukannya untuk melepaskan Sepuh dari tubuh Sheza yang mulai memberontak. Terdengar jelas dari jam pintar yang dikenakannya mulai mengeluarkan suara peringatan.

Sheza mengangkat kepalanya dan menatap kedua guru di hadapannya. Tak peduli dengan rasa sakit yang seakan menusuk dadanya dan mengikat dadanya. Ia menghampiri Lussi dan Fajrin dengan tatapan marah, meski peluh besar telah terproduksi di wajahnya yang memucat.

"Madame dan Bapak harus menemukan mereka. Kembalikan batu yang Madame ambil dari sungai. Minta maaf pada alam. Madame dan Bapak bersenggama di alam, merusak alam, membunuh hewan, dan dengan beraninya mengambil batu itu. Gara-gara Madame dan Bapak, kelima teman Madame dan Bapak yang mendapatkan ganjarannya. Ini adalah hukuman yang tepat untuk Madame dan Bapak. Penyesalan."

Tak peduli dengan status umur, Sheza dengan beraninya bicara demikian pada kedua gurunya. Rasa hormatnya pada kedua gurunya memudar, hanya ada rasa kecewa. Sekalipun saat itu mereka masih SMA, tapi perbuatan mereka jelas salah. Perbuatan mereka bukanlah perbuatan yang memang patut dilakukan di alam. Padahal, kakek-neneknya dulu selalu memberitahunya hal-hal tentang hukum alam tersebut.

Zacky menaruh tangan kanannya di pundak kiri Sheza, sementara tangan kirinya menarik tangan kiri Sheza. "Eja, udah." Zacky sadar bahwa napas Sheza mulai memburu, jam pintar Sheza semakin memberontak dengan menunjukkan angka 115. Tiba-tiba saja tubuh Sheza meluruh. Untungnya Zacky sigap dan sudah siap. Ia bisa menahan tubuh Sheza dengan baik.

"Madame dan Bapak harus berterima kasih. Malam ini, kami berhasil membuat mereka tidak mengacaukan kegiatan untuk ulang tahun sekolah besok." Meski kondisinya mengkhawatirkan, Sheza bisa bicsra dengan lantang dan tegas. Yah, memang itulah Sheza. "Ukh!" Sheza menekan dadanya yang sakit, berusaha menghalau rasa sakitnya. "Ja-Jack... U-K-S."

Zacky mengangkat tubuh ringan Sheza di atas kedua tangannya. Tanpa ba-bi-bu lagi dengan kedua gurunya, Zacky berlari membawa Sheza ke UKS yang memang sengaja dibuka untuk malam ini, bahkan dokter sekolah pun ikut berjaga malam ini. Setidaknya, kondisi Sheza malam ini tak semengkhawatirkan yang Zacky bayangkan.

"Lo hebat, Ja, as usual. I'm so proud of you."

Sheza yang telah berbaring di atas brankar itu pun mengulas senyum di balik masker oksigen yang terpasang di wajahnya. "Sorry, malam ini gue biarin lo ngeliat mereka lebih lama. Besok pagi, gue janji bakal nutup -"

"No, it's okay. I'm good with it."

Sheza tak lagi mampu bicara. Ia telah memejamkan mata, meski belum sepenuhnya tertidur.

"Sleep well, Ja."

🍀🍀🍀

Your True Colour [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang