Dua-Tiga

189 30 0
                                    

Sempat melalui perdebatan beberapa jam, akhirnya kepastian pun didapatkan. Hari kedua Sheza dirawat, ia, Zacky, dan Si Kembar mengundang Fajar ke rumah sakit. Zacky-lah yang menjelaskan semua situasinya, dan ia pun berhasil membuat Fajar datang.

Suasana di kamar VIP ini terasa cukup canggung. Ada kegelisahan yang dapat Sheza lihat dalam aura Fajar. Padahal, Fajar memiliki aura hitam, aura misterius. Tapi, kejujuran perasaan gelisahnya dapat terlihat langsung oleh Sheza. Namun, aura hitam itu masih ada, membuat Sheza bingung. Memang hitam itu bisa berubah menjadi warna lain, dan itulah yang Sheza takutkan, bahwa warna aura kecemasan itu adalah tipuan belaka.

"Jadi -" Fajar menjeda ucapannya. "Kalian terima tawaran kami, tapi dengan syarat-syarat ini?" Ia membuka sebuah bundelan kertas di dalam map yang ada di atas pangkuannya. Ia telah membaca sekitar 15 butir syarat yang dirancang oleh Zacky dan Si Kembar, bahkan Sheza baru tahu pagi ini. "Syarat ini memang plus-minus buat dua pihak, dan itu agak sulit buat saya menyampaikan ini ke atasan," ujarnya, usai diberi waktu untuk membaca dan menelaah tiap butir.

"Kami, sih, nggak maksa buat diterima. Memang kami mau bergabung. Tapi, kalian, 'kan, bukan satu-satunya yang bisa merekrut kami. Masih ada yang bisa dan mau menerima syarat yang kami ajukan," ujar Nevan dengan yakin. Ya, ialah yang memberi ide untuk tarik ulur.

Fajar tampak serius menimbang dan mencoba berpikir. "Sebenarnya, syarat yang kalian ajukan nggak berat, nggak merugikan kami juga dalam jumlah besar." Ada jeda sekian detik, memperdengarkan keraguan yang jelas oleh siapapun di ruangan ini. "Kalian juga masih SMA. Kami nggak akan bisa ganggu kewajiban kalian, bahkan kami nggak mungkin memperkerjakan kalian tanpa izin orang tua. Jadi, syarat-syarat ini cukup adil, saya rasa." Ia menutup map itu dan menyimpannya di dalam suitcase berbahan jeans miliknya. "Saya akan bicarakan ini dengan atasan. Beri saya waktu dua malam."

Semua mengangguk setuju.

"Kalau begitu, saya permisi." Fajar berdiri, lalu beranjak pergi dari ruangan itu. Ia sempat berhenti di tengah ruangan untuk menghadap Sheza, seraya berkata, "Semoga lekas pulih, Sheza." Ia tersenyum, senyum yang sebenarnya membuat Sheza sedikit mengerutkan kening.

Fajar pergi, dan Nessa sudah memastikan Fajar benar-benar menghilang di balik tembok sana. Saat ia kembali ke dalam kamar, Zacky dan Nevan sudah duduk di samping Sheza. Ia pun ikut bergabung. Ia duduk di kasur sisi berlawanan dengan Zacky dan Nevan.

"Gimana, Ja?" tanya Nevan.

Sheza tampak ragu. Bukan hanya Sheza, tapi mereka pun juga bingung dengan Sheza yang selama ini tak pernah memperlihatkan keraguan dalam menilai seseorang. "Dia punya aura hitam yang bisa ia ubah warnanya sesuka hati. Jadi, gue nggak tahu dia bener-bener cemas dan bingung."

Zacky mengangguk. "Tapi, kayaknya tarik ulurnya kita berhasil," ujar Zacky. "Mereka kayaknya butuh band kita."

Nessa mengangguk. "Aku baca-baca, selama ini mereka cuma rekrut penyanyi solo, aktor-aktris, atau grup penyanyi. Jadi, mungkin band kita bakal jadi gebrakan mereka, dan itu akan menaikkan nama mereka nantinya," ungkap Nessa.

"Tapi, apa Fajar bisa dipercaya?" tanya Sheza, spontan membuat ketiga lainnya menatapnya bingung. "Aku nggak percaya Fajar, tapi nggak sepenuhnya juga. Ada hal yang bikin aku nggak nyaman. Kayak... Ada yang disembunyikan, gitu."

"Eja aja nggak percaya sepenuhnya sama Fajar. Lah, gimana kita?" gumam Nevan. "Kalau emang dia punya aura hitam, kita emang harus waspada, sih," gumamnya lagi. "Nanti, gue minta Bokap buat cek latar belakangnya."

Sheza hanya mengangguk menanggapi.

"Ja."

Sheza menatap Zacky yang memanggilnya. Lalu, semua orang menatap Sheza, membuatnya merasa tak nyaman. "Oke, oke. Gue tahu." Ia menarik punggungnya untuk merebahkan tubuh. "Gimana, deh, kalian sadar? Gue nggak pasang alat-alat gituan."

Your True Colour [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang