Satu-Delapan

199 35 7
                                    

Sudah tiga hari Sheza dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Dua hari sebelumnya juga Sheza mengalami kondisi terberatnya. Serangan kecil di malam hari kerap ia dapatkan. Tak heran jika ia lebih sering tidur saat langit terang. Nafsu makannya menurun. Hal ini membuat Izhan, Marzuki, dan Sarah seakan kelimpungan. Bagi Izhan dan Marzuki, hal seperti ini adalah hal terburuk. Sesakit-sakitnya Sheza, ia hampir tak pernah menolak makanan rumah sakit. Namun, kali ini tampak jelas bahwa kondisi Sheza seburuk itu.

Dokter Dhimas mengatakan bahwa kondisi jantung Sheza mengalami pembengkakkan hampir 3% dari pemeriksaan terakhir. Fungsi katup semakin memburuk. Padahal, Sheza tak pernah melupakan sebutir obat pun. Izhan tahu bahwa Sheza bukan anak yang bandel untuk mangkir minum obat. Izhan tahu bahwa Sheza selalu punya semangat hidup. Namun, hal yang paling ia takuti terus bermunculan, termasuk di dalamnya kalimat-kalimat aneh yang sering sekali keluar dari mulutnya.

Tapi, hari ini kondisi Sheza mengalami peningkatan. Ini sudah hari ketiga. Sheza mau menghabiskan makanan rumah sakitnya, meski sesekali ia menghentikan tangannya untuk mengistirahatkan tubuh dari rasa mual dan pening. Bahkan, Sheza sudah lebih banyak bicara. Atau, mungkin karena hari ini Sheza tahu bahwa ia akan ditemani Sarah hingga besok pagi. Siapa sangka, bahwa sosok Sarah begitu besar artinya bagi Sheza, membuat Marzuki dan Izhan tampak lebih tenang meninggalkannya berdua dengan Sarah.

"Udah selesai," ujar Sheza setelah ia menghabiskan sarapannya.

Sarah mengangguk dan tersenyum puas. Betapa ia begitu senang calon anak gadisnya telah menghabiskan sarapannya. "Mau tambah minumnya?"

Sheza menggeleng. Ia sudah menghabiskan segelas air putih hangat. Ia bahkan telah meminum semua obat-obatannya. "Makasih, Bu."

Sarah mengambil meja dari hadapan Sheza beserta perangkat makan di atasnya yang telah disapu bersih. Ia menaruh semua itu agak jauh dari kasur, tempat yang tak akan mengganggu jalur lalu lintas di kamar ini. Setelahnya, ia kembali ke sisi Sheza untuk duduk di tepi kasur. Ia pun mulai memberikan pijatan-pijatan lembut untuk kedua tungkai Sheza di balik selimut. Bahkan, ia juga memberi pijatan untuk kedua lengan Sheza.

Sheza tak pernah mendapat pijatan seperti ini. Sebenarnya, ia tak pernah suka. Tapi, apa yang dilakukan Sarah tidak buruk sama sekali. Ia nyaman, sangat nyaman. Namun, hal itu malah membuatnya terkekeh-kekeh geli sendiri.

"Kok, ketawa?"

Sheza masih tertawa cekikikan dengan lirih. "Eja nggak pernah dipijit gini. Tapi, pijitan Ibu ternyata enak banget. Yah, meski bikin Eja geli." Ia terkekeh-kekeh.

"Kayak Mas Juki, ya, nggak suka dipijit?"

Sheza mengangguk. "Kalau pegel-pegel, langsung tempel koyo," ujar Sheza. "Tapi, kalau Ibu, sih, nggak mungkin kuat pijit badan Ayah. Badan Ayah, 'kan, keras begitu. Otot semua isinya." Ia kembali terkekeh-kekeh. Ia tengah membayangkan betapa kedua tangan Sarah yang mungil dan lembut itu mencoba memijat pundak ayahnya yang penuh otot itu. Mungkin seperti memijat pohon.

Sarah ikut terkekeh-kekeh. "Nggak akan kuat, deh. Badannya kayak beton gitu."

Sheza mengangguk setuju. "Akhir pekan ini lamaran, 'kan?" tanya Sheza.

"Iya, Mas Juki udah bilang mau ke rumah. Kamu dan Kak Ijan juga ikut. Jadi, kamu harus cepet-cepet pulih. Ini udah Selasa. Kamu belum bantuin Ibu, loh."

Sheza mengulas senyum sendu. "Eja udah buatin desain baju lamaran Ibu," ujarnya.

"Hah? Kapan?" Sarah tampak terkejut.

"Kemarin pagi," jawabnya, seraya mencoba untuk meraih buku sketsa yang ia simpan di laci nakas samping kasurnya. Sarah melihat Sheza sedikit kesulitan pun langsung memberikan bantuan tanpa bertanya. Sheza membuka beberapa lembar dan memperlihatkan desain di atas kertas gambar yang dibuat menggunakan pensil. "Sheza juga udah pilih bahan yang cocok. Sheza udah telpon juga tukang jahit langganan keluarga. Kamis ini Ibu ke Jakarta lagi, ya, untuk fitting. Nanti bareng Ayah juga," jelas Sheza.

Your True Colour [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang