1. Dava

121 15 9
                                    

Sebagian luka tidak hanya datang dari apa yang terlihat
Sebagian luka datang dari jiwa manusia

Ketika sentilan ingatan gelap itu muncul, ia mendatangiku sembari membuka mulutnya. Lantas dilahapnya pikiranku tanpa sempat aku untuk menghindar. Bunyi dengung mengawali suara pintu didobrak paksa, teriakan, gelas dipecahkan, benda yang dipukul, kata-kata satire dan sarkasme, ancaman-ancaman perpisahan, tuduh-menuduh, dan segala nada kacau lain yang tidak mengenal ritmenya.

Tempo yang begitu cepat menggema di ruang ingatan hingga membuat bendungan rasaku pecah dan sakit kepala yang hanya bisa hilang setelah aku mampu terlelap. Serta merta seluruh luka itu mendatangiku lagi. Setiap hari, setiap saat. Ketika orang lain berbondong-bondong mengatakan bahwa rumah adalah tempat pulang yang paling hangat, namun tidak bagiku yang selalu ingin pergi jauh meninggalkannya.

Semenjak papa dan mama tidak lagi percaya cinta yang mereka bangun dari awal akan bertahan, itu hanya gara-gara masa lalu papa yang diungkit kembali. Pertengkaran-pertangkaran menjadi makanan paling kenyang untukku dan Kak Tasya, kakak perempuanku yang umurnya berjarak 4 tahun dariku. Satu-satunya saudara yang aku punya.

Aku tidak tahu bagaimana caranya meluapkan amarah ini dengan sebiasa mungkin. Aku seperti mati rasa untuk mencinta orang lain, kecuali mencintai mama dan Kak Tasya. Aku terlalu takut membangun sebuah cinta yang apabila akhirnya akan menjadi seperti papa dan mama. Atau bahkan membuat perempuan yang kusayangi justru terluka. Seperti cara papa melukai mama dengan sikap dinginnya dan perlakuan kasarnya. Aku tidak bisa.

Sejak kecil aku tidak pernah mengerti dengan papaku sendiri. Pribadinya yang begitu tertutup, dingin, tidak mau diganggu, dan bahkan tak banyak bicara. Hal itu membuatku merasa tidak punya sosok papa. Tak tahu apa yang mesti dicontoh dari sosok papaku. Aku tak pernah mengerti apa maunya, ia selalu lebih banyak mengurung diri di ruang kerja atau kamar. Papa tidak peduli dengan semua orang di rumah. Mungkin apa yang sering aku lihat itulah yang membuatku sulit menjalani suatu hubungan dengan baik. Aku sampai takut menikah hanya karena papa dan mama selalu menunjukkan padaku tentang betapa mengerikannya mencintai setelah pernikahan.

Aku memilih sendiri saja ketimbang orang-orang mengurusiku yang aku sendiri pun tak mengerti aku kenapa. Yang aku tahu, ketika aku merasa cemas dan bayangan-bayangan tentang kekacauan keluargaku membuatku trauma, maka aku akan melukai diriku sendiri dengan silet untuk meredakan segalanya. Tidak ada seorang pun yang tahu aku melakukan ini. Luka-luka di tanganku ini selalu tersembunyi di balik lengan kemeja panjang yang kukenakan. Sementara luka-luka dalam batinku ini kusimpan rapi untuk diriku sendiri. Papa tahu tentang ketidakwarasanku ini, tapi papa tetap tidak peduli. Bahkan untuk menjenguk mama di RSJU saja dia tidak pernah mau.

Omong-omong tentang mamaku yang dirawat di RSJU, kejadian itu terjadi karena mamaku terlalu larut dalam kesedihan dan emosinya saat mengetahui Tasya, kakakku tewas bunuh diri. Ketidakharmonisan keluargaku membuat segalanya benar-benar buruk. Mama terus menerus merasa bersalah, teriak-teriak sendiri memanggil nama Tasya, membentur-benturkan kepalanya ke tembok berulang kali, dan bisa tiba-tiba mengamuk kepada siapa saja sampai melempar barang ke sembarang arah.

Kejadian itu terjadi saat aku masih SMA. Khasus kematian kakakku adalah aib keluarga kami yang tidak disebarkan kepada siapa pun. Kami menutupinya dengan alasan bahwa kakaku sakit. Kebenarannya adalah kakakku overdosis narkoba. Pelarianku sendiri hanya sebatas berkelahi, bolos sekolah, dan nongkrong semaunya tanpa kenal waktu. Meskipun begitu, rasa bahagia tidak aku dapatkan. Hanya sebatas menjadi tempat pelarian dari masalah-masalah hidupku yang berat.

Aku sendiri bahkan kecolongan tidak mengetahui kalau kakak yang paling kucinta, yang paling mengerti aku, memberiku pelukan justru melakukan tindakan yang di luar batas. Gara-gara kejadian itu juga, aku tidak ingin kecolongan lagi tentang mamaku. Aku akan lebih peduli lagi. Aku ingin mama bisa sembuh. Satu-satunya keluarga kecuali kakakku yang masih cukup peduli tentang aku adalah mama. Mama yang rapuh, mama yang malang. Aku pun tahu kemarahannya padaku hanya karena mama butuh pelampiasan. Ya meski itu menyakitkan, tapi Mama harus tetap disembuhkan.

Papa? Sudah kukatakan. Papaku, hanya akan bersuara jika aku berbuat ulah saja. Papa hanya akan menyalahkan aku saja. Tidak ada yang mengajariku untuk menjadi orang baik. Sehingga apa yang aku lakukan atau katakan seringkali menyakiti orang lain. Kadang aku menyadarinya karena sengaja, kadang aku tidak menyadarinya sama sekali.

Aku bertopeng dalam menjalani hari. Banyak orang akan terkesan dan mendambaku karena apa yang mereka lihat dariku tidak seperti kenyataan yang kujalani dibalik itu. Aku menjadi sosok idola di kampus, namun menjadi manusia paling melankolis di rumahku sendiri. Sebagian dari mereka ada yang iri, bahkan ingin hidup sepertiku karena kelebihanku, serta hidup yang tak pernah kurang oleh harta. Lucunya, mereka hanyalah orang-orang yang menuankan angan tak pasti lewat apa yang mereka lihat tanpa sadar bahwa mereka hanya ditipu oleh pikirannya sendiri.

Sayang, pada dinding cermin aku melihat. Aku melihat sosok muka yang hidupnya penuh luka dalam kenyataan tanpa topeng. Aku sendiri lelah untuk menjadi aku. Seringkali aku ingin lari, tapi semuanya selalu kembali. Aku terbata-bata dalam memaknai hidupku sendiri, karena aku tak tahu apa yang harus kucari dalam kotak-kotak kehidupan yang selalu membelengguku ini. Sesak. Karena bahagia hanyalah segelintir kenyataan.

Aku sengaja membungkus dunia gelapku ini serapi mungkin ke semua orang, sebab aku tahu, orang-orang hanya akan menghina aib-aib dari hidupku. Bahkan tentang ketidakwarasanku ini, orang-orang pasti akan bilang seperti misal aku gila, imanku lemah, kurang bersyukur, tidak pernah beribadah, atau bahkan ada yang bilang seperti banyak orang yang lebih menderita daripada kamu di luar sana.

Hal paling menyakitkan yang pernah aku dengar dari teman-temanku sendiri saat membahas tentang orang yang nasibnya sama sepertiku, yaitu "Jauhi aja orang kayak gitu, Yang ada malah bisa jadi pemicu kita buat ngelakuin hal yang sama. Atau malah dia jadi ketergantungan sama kita. Ngeri deh."

Ya, aku tahu banyak yang lebih menderita. Aku tidak pernah mengharapkan ekspetasi yang begitu tinggi. Aku hanya butuh dirangkul dan didengar. Apakah itu mengerikan? Terlalu banyak orang yang melihat suatu masalah dengan kacamata mereka sendiri.

Aku selalu iri dengan teman-temanku yang heboh menceritakan tentang keharmonisan keluarganya, tentang betapa peduli papa dan mamanya pada mereka, tentang kehangatan mencintai dan rasa rindu untuk segera pulang ke rumah. Mereka juga menceritakan masa kecilnya yang begitu bahagia. Dicium, dipeluk, dirangkul dengan penuh kasih.

Sampai akhirnya aku menemukan seorang perempuan patah hati yang menarik perhatianku. Selain karena isi tulisannya yang hampir selaras dengan apa yang kupikirkanku, juga karena aku penasaran siapa penulisnya. Perempuan yang menerbangkan pesawat kertasnya ke udara, tapi justru jatuh menimpa kepalaku, lalu aku datang menghampirinya. Aku tak menyangka akan bertemu dia di situ. Perempuan yang cukup lama tak lagi bersinggungan denganku selama di kampus. Di situ aku bertanya-tanya. Tuhan punya rahasia apa ya untukku?

-----------------------

Jangan lupa VOTE / Komen ya! :)

Komentar pasti kubaca kok. Ngomong aja apa yang mau dikomentari/ditanyakan dari cerita ini. Oke!? :)

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang