Jika cinta itu saling menyayangi,
maka kekerasan itu murka dan selingkuh itu nafsu
Cinta tidak menyakiti, cinta itu setiaHidup, aku tak pernah mengerti mengapa aku dilahirkan dengan skenario yang pilu. Aku lelah. Sungguh lelah. Melihat mama dan papa bertengkar sejak aku masih kecil hingga tumbuh dewasa hanya karena perusahaan papa gulung tikar. Perekonomian kami buruk. Mama menuntut hidup mewah selalu pada papa dan diam-diam menjadi pelacur. Memacari banyak laki-laki di luar sana, lalu memanfaatkan dan dikuras hartanya. Mama tak pernah merangkul papa. Dosakah aku membenci orang yang melahirkanku sendiri jika dia saja justru melukai lelaki yang mencintainya tanpa pernah menyakitinya?
Bahkan aku tidak pernah merasakan cinta dari mamaku sendiri. Perempuan itu hanya menuntutku untuk menjadi seperti apa yang dia mau tanpa pernah mendengarkan apa mauku. Uang, uang, uang, mamaku tidak pernah kenyang perkara itu. Muak aku dengan caranya memperlakukan papa seperti mesin pencetak uang.
Lucunya, papa tidak mau menyakiti mama yang telah menyakitinya. Papa tidak pernah mau memukul, tidak mau membentak, ataupun bertindak untuk menghentikan omelan mama kepadanya. Jika aku yang bertindak, papa malah memarahiku untuk tidak melakukan kekerasan. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa papaku bisa-bisanya mencintai perempuan jalang itu.
Papaku terlalu lemah, aku membenci itu, tapi aku menyimpannya sendiri dalam hati. Aku tidak mau melukainya yang tidak pernah melukaiku dengan kata-kata atau perlakuan buruk. Aku sayang papaku. Tapi kubalas dendamku pada mama dengan mempermainkan dan memanfaatkan teman-teman perempuanku yang mau menjadi pacarku di sekolah hanya karena aku tampan dan pandai merayu.
Aku tidak peduli mereka sakit hati atau menangis, yang penting aku puas, mereka kumanfaatkan, kubuat perasaannya terbang setinggi mungkin, lalu kujatuhkan tanpa perlu perlahan. Mereka sama seperti mamaku, lemah! Cuma bisa menangis dan marah-marah, persis seperti mama yang banyak protes, merengek minta ini dan itu, tapi tidak mendukung apa-apa.
Mama dan papa akhirnya bercerai. Itupun mama yang menuntut talak. Papa masih saja ingin mempertahankan perempuan seperti itu. Kalau aku sih tidak sudi. Waktu demi waktu terlewati akhirnya papa memutuskan untuk bercerai karena mama mengancam akan bunuh diri jika mereka tidak berpisah. Aku justru membiarkannya bunuh diri saja. Setiap aku bertanya pada papa, mengapa papa tidak menyudahi saja hubungan papa dengan mama, kenapa papa tidak pernah berbuat kasar padanya, papa selalu bilang, "Karena Papa cinta, Nak."
Cinta? Hah! Sampai detik ini aku tidak tahu bagaimana bentuk cinta yang baik. Aku tidak akan pernah sudi untuk tahu mama di mana, bagaimana kabarnya. Aku tidak juga sudi menerima jika dia kembali setalah papa sudah kaya lagi. Mama tidak pernah mencintai papa. Mama hanya mencintai kekayaan papa.
Setelah bercerai, aku memilih untuk ikut papa ketimbang mama. Tentu saja, jelas alasannya. Papa memulai bekerja dari nol lagi dan aku selalu membantu papa dalam hal ini. Papaku pandai membuat kue dan roti. Kubilang pada papa untuk kita berdua berdagang itu saja. Yah, bisnis kecil-kecilan dulu. Dijual keliling dan dititipkan ke warung dan sekolah-sekolah. Aku membantunya setiap hari. Waktu demi waktu kami lalui bersama.
Hingga papa bisa membuka toko bakery sederhana sendiri. Perekonomian hidup kami cukup meningkat kembali, sehingga papa bisa melanjutkan sekolahku di tingkat SMA. Baru hari pertama masuk sekolah untuk kegiatan belajar mengajar, aku sudah terlambat. Yah, aku akui, aku memang cukup bandel. Gara-gara itu aku langsung ditempatkan duduk di sebelah perempuan bernama Dira dan aku ditunjuk menjadi ketua kelas.
Ah, sial. Pikirku waktu itu. Mana perempuan yang bernama Dira itu cueknya ampun-ampunan pula. Dari seluruh perempuan yang aku kenal, cuma Dira yang tidak termakan rayuan dan uangku. Padahal kurasa aku tampan, tapi mengapa dia bisa begitu biasa? Kepo dong. Pepet lah. Tapi tidak ada perubahan apa-apa. Ekspresinya terlalu biasa sampai aku tidak bisa membaca dan memperdaya perempuan itu. Oke, aku pun menyerah. Aku memilih untuk berteman dengan Dira sebiasa mungkin. Sewajar mungkin.
Tapi, tidak kusangka pertemanan yang biasa itu justru bekerja. Dira dan aku bersahabat baik sampai sekarang, sampai kita kuliah. Meskipun jurusan kami berbeda, tapi universitas kami tetap sama. Aku kuliah ekonomi untuk mensukseskan bisnis papa, sementara Dira Sastra Indonesia. Mengapa justru aku malah bersahabat dengannya?
Dira, perempuan yang sungguh berbeda dan berkali-kali berani menegur salahku dengan tegas. Susah sekali membuatnya gampang terbawa perasaan seperti perempuan lain. Dia selalu menjaga diri dan menganggap semua rayuan dan pujianku bahan candaan. Sehingga dia tidak pernah menyadari bahwa pujianku itu serius. Marahnya dia pun bukan marah menuntut, melainkan marah jika aku mengulangi kesalahan yang sama. Dia juga tidak pernah meminta padaku untuk ini dan itu. Aku justru suka sikapnya yang berusaha membuatku menjadi orang baik. Bersamanya, aku jadi merasa tidak sendiri lagi. Dira selalu menemani resah gelisah di dadaku. Aku sungguh menyayanginya. Aku tidak ingin melukainya.
Aku memang menyayanginya,tapi aku terlalu takut membuat hubungan dengannya. Aku ragu kalau aku bisa sajamenyakitinya lewat dendamku pada mama yang belum juga aku rasa puas dan masihmembuatku trauma. Cuma Dira satu-satunya perempuan yang ingin sekali kujagaperasaannya. Kupikir bersahabat saja cukup. Dira adalah perempuan teristimewadalam hidupku. Ya, cuma Dira.
-------------------------
Jangan lupa VOTE / Komen ya! :)
Komentar pasti kubaca kok. Ngomong aja apa yang mau dikomentari/ditanyakan dari cerita ini. Oke!? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayakan Cinta ✔ [NEW]
RomanceDira Ayanatalia, perempuan yang sadar seutuhnya bahwa kisah cintanya tidak pernah mulus seperti ekspetasinya. Termasuk diam-diam jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri yang ia tahu tidak pernah setia dalam berhubungan asmara, Arkan. Semula rasa cinta...