12. Kenangan-Kenangan (1)

37 12 2
                                    

Kenangan bisa membuatmu tersenyum jika indah
Namun, sisi lain bisa menjadi bagian paling pilu jika membuat gundah

Dava memarkirkan motor di halaman samping rumah Dira. Ia berjalan menuju teras depan. Dava melepas sepatunya, lalu mengetuk pintu rumah Dira sambil mengucap salam. Seorang wanita paruh baya membuka pintunya dan menjawab salam. Dava menduga kalau wanita ini adalah mama Dira. Perempuan itu bertanya-tanya siapa lelaki muda ini. Dengan senyum dan sopan Dava mempertanyakan Dira pada wanita itu. Dava mendapat respon untuk menunggu sejenak di ruang tamu, karena Dira sedang berada di toilet.

Wanita itu tak perlu lagi menyiapkan minum dan camilan, sebab semuanya sudah ada di meja ruang tamu yang tadi Dira siapkan untuk Arkan. Hanya tinggal mengambil gelas baru untuk menuang sirup. Mama Dira mengabari kepada Dira kalau temannya sudah datang ke rumah. Dava sempat melihat-lihat foto keluarga Dira yang ditempel di dinding ruang tamu. Nampaknya keluarga Dira begitu fun sekali. Terlihat dari cara berposenya yang unik dan berbahagia. Selagi Dira masih di toilet, mama Dira menemani Dava, mengajak bicara.

"Saya baru tahu Dira punya teman laki-laki lain loh," cerita mama Dira.

"Saya senior Dira Tante. Kebetulan dapat tugas satu kelompok sama Dira. Tapi udah kenal lama sih, sejak ospek," jawab Dava sekenanya.

"Ohh... senior toh. Saya kira teman sebaya. Tapi bagus lah kalau gitu."

"Bagus? Bagus apanya maksud Tante?"

"Dira itu dari SMA teman cowoknya nggak berubah-berubah. Cuma satu aja. Arkan namanya. Nggak tahu itu anak satu kenapa nggak mau bergaul sama cowok lain selain Arkan. Baguslah kalau kalian satu kelompok dan udah kenal lama. Biar temen cowok dia nggak itu-itu mulu."

Dava yang tak tahu harus merespon apa, hanya mampu merespon senyum.

"Eh, nama kamu siapa Nak?"

"Saya Dava, Tante."

"Oh, Dava... iya, iya," eja mama Dira menatap lelaki muda itu dengan intens.

"Eh, Mama ngapain di sini? Modus ya...? Ih dasar," ledek Dira yang baru datang dengan kelakar.

Dava dan mama Dira tertawa.

"Kalau Mama modus memangnya kenapa? Kamu cemburu?" ledek mama Dira balik.

"Idih, apaan sih. Udah ah Ma, Dira mau garap tugas nih."

Mamanya menyentil ujung hidung Dira, gemas dengan jawaban Dira. Setelahnya, segera mempersilakan Dava untuk tidak malu-malu dan santai saja. Dava mengucapkan terima kasih pada mama Dira dengan sopan dan ramah. Setelah mama Dira meninggalkan mereka berdua di ruang tamu, Dava jadi ingat soal Arkan. Ia sampai heran seberapa spesialnya Arkan buat Dira. Ia bertanya-tanya, kalau Arkan adalah satu-satunya lelaki yang dekat dengan Dira, apakah yang Dira maksud dari pesawat kertasnya waktu itu adalah Arkan? Tapi Dava tidak ingin membahas tentang Arkan sekarang. Mungkin lain waktu saja, pikirnya.

"Eh, Mamaku ngomong apa aja tadi sama kamu?" tanya Dira menyelidik.

"Kepo. Tanya aja sama Mamamu sendiri," balas Dava rahasia.

"Iiih... ngeselin banget sih. Tahu ah. Ngerjain tugas aja. Aku ambil laptop dulu."

"Kayaknya nggak perlu laptop dulu deh. Kita kan belum konsep apa-apa. Tulis tangan aja dulu buat konsep."

"Oh, ya udah. Oke. Eh, emm... duduk di karpet kayaknya lebih enak deh, nggak bungkuk-bungkuk segala."

"Aku juga mikir gitu."

Akhirnya Dira dan Dava memutuskan untuk duduk di karpet. Dava mengeluarkan buku tulis dan pena yang dibawanya untuk menulis konsep. Dira meminta dirinya yang menulis saja, lalu Dava menyerahkan pena-nya untuk Dira. Mereka memulai diskusi mereka dengan rincian konten tulisan yang akan dimuat, lalu memperkirakan jumlahnya dalam halaman sekaligus membuat layout dari isi majalah mereka nanti sekaligus menentukan tema.

Dava sempat menawarkan gantian menulis, tapi Dira tidak mau karena sedang ingin menulis dan mendengarkan Dava banyak bicara. Lama tidak mendengar suaranya, kini ketika diberi kesempatan untuk mendengar sepertinya akan Dira jadikan list musik favoritnya. Dava benar-benar terlihat cukup berbeda sikapnya di mata Dira sekarang ini, dari sebelum pada akhirnya Dava memutuskan untuk berbaikan sewaktu makrab dan ketika mereka bertemu kembali di pantai sore itu. Masih ada persamaannya seperti masih tengil, suka usil, meledek. Bedanya sikap Dava nampak lebih bersahabat daripada sebelumnya. Meskipun ia tahu kalau Dava membatalkan diri untuk saling berbaikan.

Dira berpikir, mungkin saat itu Dava menggertak hanya untuk sandiwara di lapangan. Sementara ketika Dava suka marah-marah itu mungkin karena ia sedang banyak pikiran dan masalah harus mengurusi beberapa mahasiswa baru yang bandel-bandel hingga tak sengaja melampiaskan ke orang-orang di sekitarnya, termasuk Dira. Buktinya saat makrab, Dava sampai begitu niat untuk berbaikan denganya. Dira masih merasa bersalah dengan sikapnya yang tak merespon baik maksud Dava hingga ia tidak menghargai kebaikan-kebaikan kecilnya. Dira menyadari bahwa harusnya dia tidak bersikap seburuk itu. Kenangan-kenangan baik Dava kepada Dira sewaktu makrab tiba-tiba terlintas di benaknya.

...Bersambung...

Jangan lupa VOTE / Komen YA! :)

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang