01 | Permulaan

190 49 83
                                    

Huuuhhh ...
Aku menghela nafas panjang. Tidak terasa sekarang sudah genap sepuluh tahun mereka berdua menjaga serta menghidupi aku dan Lail.

Dua hari lalu ada selembar kertas tertempel di papan informasi desa. Dan pengumuman itu mengenai seleksi penerimaan murid di sekolah kemampuan warna di wilayah kota kerajaan, hal ini diadakan rutin oleh sekolah itu setiap tahunnya. Tapi bukan aku yang menunggu hari ini tiba, melainkan Lail- adik perempuanku yang antusias sangat tinggi dalam keinginannya mempelajari kemampuan warna.

"Ibu, Lail izin pamit. Doakan Lail dan kak Alto bisa lolos seleksinya."

"Tidak lolos tidak apa-apa, tahun depankan masih bisa." sahutku dengan santai, namun tiba-tiba Lail memelototiku dengan tatapan mengancamnya.

"Tidak mau tau, kita harus lolos seleksinya tahun ini!"

"Inikan percobaan pertamamu di batas umur untuk mendaftar seleksi itu, wajarkan kalo nanti gagal. "

"Ibu lihat itu! Kak Alto belum berangkat aja sudah pesimis. " Lail memasang mimik cemberutnya.

"Tenanglah Lail, yang penting kalian berdua semangat dan berhati-hati di sana. Hasil akhirnya di pikirkan nanti. " nah itu dia, akhirnya kak Clara membantu menyampaikan ucapanku dengan bahasa yang kurasa–Lail bisa menerimanya.

"Baiklah, kami akan berjuang! " teriak Lail bersemangat. Lalu tiba-tiba dari dalam rumah ada gadis kecil berlari menghampiri kami. Eh, Kok dia malah lari ke arahku.

"Fanny Sparkler manis, dari mana saja kau ini?" tanyaku pada gadis kecil berumur sepuluh tahun yang sedang memelukku.

"Fanny dari dalam rumah mengambilkan gelang buatanku untuk kak Alto. " ucap Fanny seraya menyodorkan gelang berpilin dengan senyumannya yang lebar tetapi matanya nampak berkaca-kaca.

"Lalu untuk kak Lail?" tanyaku.

"Tidak ada, kan aku sayangnya ke kak Alto. "

"e eehhh. " desus Lail yang nampak cemberut lagi.

"Tapi bo'ong. Tentu saja kak Lail dapat. " Fanny melepas pelukannya padaku dan berlari memeluk Lail.

Fanny kembali berkata "Tapi tetap saja aku lebih sayang kakak Alto. " Lail pun terlihat menyunggingkan senyumannya yang berkedut.

Aku, Willy, dan kak Clara tertawa.

Kami semua saling bercumbu haru–entahlah bahasa apa yang lebih tepat.

Kurasa kepergianku dan Lail memang cukup berat karena kami semua telah hidup bersama dalam sepuluh tahun ini.
Lail terlihat meneteskan air mata, begitu pula dengan Clara-san dan juga Fanny. Mereka saling melepaskan haru melalui pelukan.

Kepergian ini adalah sebuah kebahagian dan juga kesedihan bagi Lail. Tapi tidak untukku, karena Kepergian ini adalah pengganggu sifat alamiku 'Sang Pemalas'.

Willy meyeringai ke aku dan berkata "Tunjukan hasil didikan ku, Alto!"

"Siap senior. " ucapku dengan mengacungkan jempol ke arahnya.

William Spalker yang terhormat terkekeh oleh ucapanku itu.
Kurasa memang aneh kalau aku bersikap seperti orang yang penuh semangat, Karena itu jauh dari prinsipku yaitu harus selalu Menghemat stamina sang pemalas, karena aku memang tidak mau membuangnya secara cuma-cuma.

Colour Call : Memanggil WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang