04 | Kakak Beradik

64 24 8
                                    

Aku dan Lail memasuki toko si kakek. Wow, ini adalah toko buku. Aku banyak melihat buku-buku yang lagi popular saat ini.

Tidak hanya itu, di sini ternyata ada buku-buku lama yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Aku terpukau dengan toko buku ini. Karena aku sebelumya tidak pernah datang ke toko buku. Di desaku, adanya hanya perpustakaan desa.

"Kak Alto ini barangnya angkat dan bawalah. Sekarang Sudah mulai gelap. Kita harus segera mencari penginapan. " seru Lail, memecah pikiranku.

"Oke ... Oke tuan putri. "

"Terima kasih kek, sudah menjaga barang kami. Kami belum bisa membalas kebaikan kakek. Kami harus pergi dulu. " ucap Lail ke kakek pemilik toko ini.

"Sama-sama, kalian tak perlu membalasnya. Tapi jangan lupa kapan-kapan kalian berkunjunglah ke toko kecil ini. Sekedar membaca buku-buku di sini dan juga menemani kakek. Haha, " Sang kakek tertawa kecil. Tetapi Aku bisa melihat adanya rasa kesepian di balik tawanya itu.

"Terima kasih. Lain kali aku akan mengajak adikku yang malas menyentuh buku ini untuk datang ke sini. " kataku ke sang kakek. Kemudian aku dan Lail pamit pergi meninggalkan toko buku ini.

Ada dua hal unik yang sangat aneh menempel pada diriku yang memiliki jiwa 'sang pemalas' ini. Salah satunya yaitu ketertarikanku dalam membaca buku. Baik itu berisi pengetahuan maupun hanya sebuah karangan cerita.

Aku menyukai membaca karena dalam menjadi penyendiri sejati harus ada hal yang bisa mendampingiku. Bukan orang. Tapi sebuah kesenangan bagiku. Salah satunya ya ini. Membaca.

Satu lagi hal unik yang menempel pada diriku. Aku suka menulis.

***

Akhirnya, sampai juga di tempat penginapan. Kami berdua telah berputar-putar berkeliling di salah satu bagian kota kerajaan ini. Bertanya ke orang-orang tentang tempat penginapan.

Asli, 99% aku sangat lelah. Aku ingin mempercepat istirahatku yang tertunda tadi.

Lail saat ini sedang berbicara dengan wanita pemilik bangunan penginapan ini. Mereka mungkin sedang bertransaksi ala wanita, pastinya-dan aku tidak akan ikut campur, karena itu pasti sangat merepotkan bagiku.

Sesekali aku merasa risih dengan lirikan pemilik penginapan ini yang sangat mencurigaiku.
Ya, aku tahu yang dipikirkan pemilik penginapan itu. Dia pasti menganggapku yang seperti itulah.

Aku dan Lail memang saudara. Tapi tinggal satu tempat dengan adik yang berbeda gender itu tetaplah tidak baik.

Lail menyerahkan dua kertas selebar buku kepada pemilik penginapan.
Itu semacam sertifikat tanda kependudukan kerajaan. Berisi biodata diri seperti: nama, tempat tinggal, jenis kemampuan dan lainnya.

Lail dan wanita itu saling bersepakat. Lail menyerahkan beberapa lembar uang dan si pemilik penginapan memberikan kunci tempat tinggal ini.

Sebelum wanita pemilik penginapan berbalik meninggalkan kami, dia melirik kearahku dengan tatapan yang lagi-lagi aku risih dan ngeri melihatnya.

Lail menghampiriku dengan gembiranya. Ya, aku juga gembira. Ingin segera mengistirahatkan tubuh yang tadi selalu tertunda.

"Harga sewa sebulannya murah kak. "

"Bagus. Sekarang cepat buka pintunya!" Aku ingin segera istirahat, woe.

"Santai napa kak. "

Lail berjalan ke mulut pintu. Membukanya. Dan aku segera memasuki tempat penginapan ini dengan membawa barang bawaan kami.

Oh. Pantas, saja si pemilik penginapan selalu menatapku curiga.

Tempat ini hanya terdiri satu ruangan yang lumayan besar 5 x 5 meter luasnya. Ada satu kamar mandi. Yang berdampingan dengan dapur. Dapurnya tidak beda ruangan, tapi masih menyatu dengan ruangan utamanya. Hanya ada sekat setinggi panggul yang memisahkannya.

Colour Call : Memanggil WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang