06 | Sebuah Pijakan

47 16 10
                                    

"Ibu ... Ibu ... Tetaplah bersama kami, "

pandanganku menghitam, lantas aku mengerjap membuka mataku kembali.

"Ibu!?" Aku terkejut dan terbengong dengan seseorang yang berada di hadapanku, aku memusut mataku memperjelas pandanganku yang masih kabur.

"Iya ini ibu. Sekarang cepat bangun nak, jangan malas. "

Pandanganku mulai terlihat jelas.
Dasar. Dia berhasil mengejutkanku, aku seakan melihat wajah mendiang ibu. Warna rambutnya, bentuk wajahnya, biru matanya-tidak, Kurasa warna matanya lebih tebal dari ibu. Dan yang pasti dia 99% lebih cerewet dari lainnya.

"Kau menggangguku, Lail. " Aku mengerang, rasa kantukku yang tersisa merangkulku kembali, ku letakan lagi kepalaku di atas meja.

"Humf ... Kakak! Bangun. " Lail meninggikan suaranya dan menggoyang bahuku.

"Ogah, malas. " suara lirihku membalasnya.

"Colour calling, blue water. Hujaman air. "

Suara itu!? Aku spontan membuka mataku. Guyuran air yang tak terelakkan menghujam muka dan badanku dengan cukup deras.

Aku sedikit kedinginan, menyilangkan lenganku di depan dada dan pergi ke kamar mandi. Tubuhku basah kuyup di buat Lail. Mentang-mentang aku jarang mandi pagi, enak sekali sekarang di memaksaku melakukan hal itu.

Selesai memberikan kejutan pada tubuhku, bagaimana rasanya air dipagi hari itu-maklum aku jarang mandi pagi.

Aku keluar dari kamar mandi dan.

"Bersihkan air di lantai itu ya, kak! Dan juga bersihkan kamar mandinya itu. Lalu itu banyak debu di sana-sini, bersihkan juga, ya. " Tuan putri sudah menungguku keluar dari kamar mandi dan langsung memberondongku dengan segala perintahnya.

"Hey, apa-apaan itu. Air di lantai itu kan karena kemampuan warnamu. Kaulah yang harus membersihkannya. "

"Aku kemarin sudah merapikan kamar ini. Sekarang tugas kakak, kan kemarin nggak ngapa-ngapain. "

Apa-apaan itu, kemarin itukan yang menguras habis staminanya adalah aku. Dari berangkat hingga sampai di kota ini 99% akulah yang bekerja. Enak sekali dia bilang 'sekarang giliran kakak!' batinku tertawa dengan kata-katanya itu.

"Aku masih males, nanti siang aja. "

"Kalo begitu, kakak gak dapat jatah sarapan. " Lail berkacak pinggang memaksakan perintahnya.

"Oke, oke. " seperti biasa aku tidak bisa melawannya.

Lail keluar, mungkin sedang mencari bahan atau membeli makanan.
Aku mulai melaksanakan perintah Lail dengan badanku yang masih pegal dan agak kaku gara-gara semalam aku tertidur di meja.

Tentang Tania dan Billy. Mereka berdua adalah orang tua kandungku dan Lail. Kami semua adalah keluarga kecil bermarga 'Arrow'. Sepeninggal mereka, kami hidup dikeluarga kecil 'Sparkler'. Willy dan kak Clara mengisi peran sebagai orang tua bagi kami.

Dan Besok adalah hari seleksinya.
Sebenarnya aku tidak ambil pusing dengan hasilku nanti, lolos atau tidak nantinya aku tidak masalah. Tapi, untuk Lail aku harus membuatnya bisa lolos, karena itu tujuan aku ikut hingga sampai sini.

***

Seperti biasa pagi ini aku bangun kesiangan karena kebiasaanku itu. Lail seperti biasa juga, mengomel tanpa henti-hentinya saat kami berangkat hingga sampai di depan sebuah bangunan amat besar dan bertingkat dua, yaitu '-2 Colour School'.

Colour Call : Memanggil WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang