Saat di mulut lembah, aku tatap desa kami dari atas sini. Desa nampak kecil dan terpencil jauh dari desa lainnya. Ladang, dan sawah warga desa menghiasi di sekelilingnya.
Pemandangan dengan warna hijau yang menyejukkan dan menyegarkan mata. Sudah lama aku tidak merasakan sensasi yang menenangkan hati ini.
Lail terlihat melambaikan tangannya ke arah desa, dia mungkin ingin menyampaikan ke desa bahwa–kami akan pergi dulu. Dan suatu saat akan kembali.
Aku dan Lail melanjutkan perjalanan. Menyusuri lembah, menuruni pegunungan, dan melewati padang rumput.
Sampai juga kita di desa di balik pegunungan. Di sini cukup ramai, mungkin karena ini adalah tempat berkumpulnya warga desa-desa yang di balik pegunungan untuk menggunakan transportasi menuju kota kerajaan.
Di desa ini aku dan Lail singgah sebentar untuk istirahat dari lelahnya perjalanan tadi. Butuh enam jam lebih bagi kami untuk melewati pegunungan itu. Seharusnya tidak selama itu, sekitar empat jam harusnya cukup untuk melewatinya. Ini semua karena 'si beban' perjalanan.
Kami menaiki kereta kuda dari desa ini menuju kota kerajaan. Sebenarnya kami bisa menaiki kereta kuda dari desa kami tanpa harus mendaki. Tapi itu akan memakan waktu hingga tiga kali lipat lebih lama dari pada mendaki. Yaitu dengan memutari pegunungannya.
Perjalanan ke kota kerajaan dengan kereta kuda ini akan memakan waktu sekitar setengah hari. Jalannya yang bagus tanpa adanya tantangan suatu medan, membuat perjalanan ini super lancar dan nyaman.
Uuhh, sekarang waktu yang tepat untuk tidur. Aku mengistirahatkan tubuh di dalam kereta kuda yang bagian atas grobaknya di tutupi kain seperti bentuk atap rumah.
***
Aku terbangun oleh suara keramaian, apakah ini sudah sampai di kota kerajaan? Lail masih tertidur dan dia ternyata tidur di sampingku dengan bersandar di bahuku.
Huuhh, ku kira dengan tidur aku bisa terbebas dari beban, ternyata tuan putri masih saja menjadikanku budaknya.
Bebar juga ... Ini kesempatan bagiku untuk membalaskan dendamku di perjalanan tadi. Aku mengapit hidung Lail dengan dua jari dan menariknya dengan cukup keras.
"A awww ... sakit. Apa-apaan sih kak. " Lail megerjap hidungnya memerah. Dia meringis menahan sakit.
"Tidak. Aku cuma membangunkanmu. " ucapku dengan santai. Dan batinku cukup puas sudah membalasnya.
"Mana ada bangunin kaya gitu. Sakit tau!"
Aku mengalihkan topik agar dia tidak semakin banyak mengoceh.
"Apakah itu tujuanmu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah sebuah gerbang besar dengan tulisan 'Colour of Kingdom' dan juga lambang yang menyertainya.
"Wah, kita sudah sampai. " Lail langsung membuka matanya lebar-lebar dan melupakan sejenak emosinya terhadapku.
***
Keterkejutannya sudah mulai menghilang. Tuan putri kembali kesifat aslinya.
"Kak Alto apa-apaan sih tadi. Masih sakit lho hidungku. Nih, masih merah. "
Lail mulai cemberut lagi. Aku sudah tidak tahan lagi melihat ekspresinya itu. Jika cemberutnya hanya sesekali saja, tidak masalah, malah sangat bagus. Tapi ini! Aku hampir setiap saat harus melihatnya seperti ini. Batinku saja sampai mual.
"Memangnya kau bisa melihat hidungmu? Kok bisa bilang warnanya masih merah. "
"Maksud kakak apa? Hidungku datar gitu. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour Call : Memanggil Warna
FantasyDi dunia ini warna adalah sebuah kemampuan, semacam kekuatan supernatural yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya. Seorang remaja bernama Alto Zet mengikuti seleksi penerimaan murid di sekolah kemampuan warna.Walaupun begitu, dia adalah remaja...