5

1.6K 267 62
                                    

WARNING : BLOODY SCENE, GORE. READ THE WARNING. STAY BACK BEFORE IT'S TOO LATE.




"Monsters are real, ghosts are real too. They live inside us and sometimes, they win"

(Stephen King)



Akaashi masuk ke kelas yang sunyi karena guru sudah ada di dalam kelas.

"Akaashi-san, dari mana kau?", tanya guru itu ke Akaashi.

"Maaf, pak. Tadi saya terjatuh dan membuat kacamata saya patah sehingga saya pergi memperbaiki kacamata saya di toilet. Sekali lagi maaf karena saya terlambat", Akaashi membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf.

"Ya sudah. Duduk ke tempatmu. Jangan lupa setelah ini perbaiki kacamatamu dengan benar"

"Terima kasih pak", ucap Akaashi, lalu pergi ke tempat duduknya.

Bokuto sudah melihat-lihat dengan cemas dan langsung menanyai Akaashi dengan banyak pertanyaan sehingga kelas sedikit gaduh.

"Bokuto Koutarou, bacakan teks nomor 2 halaman 92", ucap guru itu mulai risih.

Mereka sedang dalam pelajaran Bahasa inggris dan belajar mengenai Shakespeare. Bokuto pun membaca puisi dari Shakespeare itu.

Sonnet 18: Shall I compare thee to a summer's day?

Shall I compare thee to a summer's day?

Thou art more lovely and more temperate:

Rough winds do shake the darling buds of May,

And summer's lease hath all too short a date;

Sometime too hot the eye of heaven shines,

And often is his gold complexion dimm'd;

And every fair from fair sometime declines,

By chance or nature's changing course untrimm'd;

But thy eternal summer shall not fade,

Nor lose possession of that fair thou ow'st;

Nor shall death brag thou wander'st in his shade,

When in eternal lines to time thou grow'st:

So long as men can breathe or eyes can see,

So long lives this, and this gives life to thee.

Setelah selesai membaca puisi itu, Bokuto pun duduk dan mendapatkan tepuk tangan yang keras bahkan dari gurunya karena kefasihan bahasa Inggris dan cara pembawaan puisinya yang sangat indah. Akaashi pun sampai menganga ketika mendengar Bokuto membacakan puisi itu. Suaranya yang lembut tapi menggambarkan perasaan cinta dari puisi itu sendiri.

"Bravo, Bokuto. Kau membacakan puisi itu dengan intonasi dan pelafalan yang sangat fasih", puji guru itu.

"Terima kasih, pak. Hehehe", Bokuto menggaruk bagian belakang lehernya dengan senyum pepsodent yang membuat siswi-siswi pun terpesona.

"Oke, mari kita lanjutkan. A-san, silahkan lanjutkan membaca teks ke tiga"

"Baik, pak"


Akaashi sudah kembali ke mode stay cool, tetapi Bokuto dari tadi melihat dirinya dengan mata penuh harap.

"Sepertinya dia minta dipuji. Apa tidak cukup dipuji oleh pak guru? Hahhh", keluh Akaashi dalam hati. Sabar mama.

KacamataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang