Finding 3

225 40 1
                                    

Tidak pernah ada yang berubah, seisi kamar masih serupa diwaktu gadis itu masih ada bersamanya. Langit-langit kamar yang masih menampilkan galaksi Andromeda, sudut kamarnya masih dihiasi rak buku dengan beberapa bingkai foto yang sama.

Senyum abadi gadis itu dalam bingkai, semuanya belum berubah. Hanya kenyataan bahwa manusia yang membuatnya bertahan sejauh ini, sedang tidak mendampinginya.

Setiap pagi, ia membuka pintu balkon, berharap pada kenyataan bahwa suatu waktu balkon di sebrang kamarnya akan menampilkan sebatang tubuh yang amat ia rindukan. Setiap sebelum tidur, ia berharap lampu kamar itu dinyalakan, sebagai tanda bahwa di sana ada kehidupan.

Tapi hampir tiga tahun setelah kepergian tanpa pamit yang gadis itu tinggalkan, separuh dari kesehariannya juga ikut berpamitan. Namun kini, dia punya kehidupan baru. Ya, seperti harapan gadis itu di perayaan terakhir ulang tahunnya yang mereka rayakan bersama, gadis itu mau ia punya dunia yang tidak hanya berisi dirinya sendiri, dan dirinya sudah benar-benar mengabulkannya.

Kalau dulu hanya akan ada Bimala sebagai satu-satunya manusia yang selalu ada untuknya, sekarang ia punya beberapa orang yang tidak keberatan tinggal di sisinya.

Apa permohonan yang gadis itu harapkan benar-benar tulus ditujukan untuk kebaikannya? Atau diucapkan hanya sebagai bentuk rasa bersalah karna harus pergi tanpa bisa berpamitan?

Tapi kenapa? Apa yang membuatnya harus pergi sambil sembunyi? Seingatnya semua berjalan baik-baik saja, tidak ada pertengkaran atau salah paham. Sampai pada suatu pagi gadis itu benar-benar pergi.

Kacau, sepagi ini kepalanya sudah diajak berfikir banyak sekali.

Menghela nafas sekali, memutar tumit dan menutup kembali pintu balkon. Ganindra menyambar ransel hitamnya di atas meja belajar, mengambil kunci motor lalu menuruni tangga dengan terburu.

Ia harus segera sampai kampus, terlalu lama sendirian tidak pernah baik untuk kesehatan kepalanya.

Begitu sampai di kampus, ia langsung ditarik seseorang yang seperti sedang meminta penjelasan.

"Gue tau pesan gue mungkin mengganggu. Tapikan kali ini isi pesannya penting, kenapa gak di bales? Kenapa hape lo susah banget dih diaktifin" Seseorang mengerucutkan bibirnya dengan lucu. Rambut panjang sepunggungnya bergerak perlahan. Poni yang menutup dahinya ikut bergerak diterpa angin.

"Gue belum buka hape" Ganindra hanya menjawab sekenanya.

"Hasil pengumuman buat KKN nasionalnya udah keluar. Dan..." Gadis itu terkejut ketika melihat jarum jam di pergelangan tangannya, sedang Ganindra hanya mengernyit bingung melihatnya.

"Astaga Ganindra. Sosialisasinya udah di mulai. Ck lo kudu buru-buru ke auditorium sekarang. Buruan sana" Gadis itu dengan rekfek mendorong Ganindra, dengan harapan laki-laki itu bisa segera berlari menuju aula.

Tapi bukannya berlari, Ganindra malah terus berjalan santai tanpa merasa bersalah. Melihat hal itu tentu saja gadis itu gemas, maka tanpa meminta persetujuan ia menggenggam tangan laki-laki di sebelahnya, mengajak Ganindra berlari.

Ganindra hanya menurut. Telinganya bisa sakit kalau harus menentang gadis cerewet yang kekurangan sopan santun ini.

Bukankah seharusnya orang yang lebih muda harus menambahkan kata kakak atau abang ketika memanggil seseorang yang lebih tua? Tapi coba lihat gadis ini? Sama sekali tidak memperdulikan hal itu.

"Buruan ih larinya yang cepet" masih dengan menarik tangan Ganindra, gadis itu mengomel. Menganggap bahwa Ganindra sangat lamban dalam berlari.

Dengan nafas tersenggal, mereka akhirnya sampai di depan auditorium.

"Hah. Untung belum mulai" Gadis itu menghembuskan nafas lega.

"Lo gak harus buat gue maraton di jam segini harusnya" Ganindra melepaskan genggaman gadis itu. Memegang bahu gadis itu, lalu membuatnya berbalik.

"Silahkan balik ke kelas lo sekarang"

"Hah? Astaga gue punya kelas Ganindra" ya, dan sekali lagi gadis itu berlari. Ganindra hanya bisa terkekeh melihat bagaimana gadis itu berlari dengan terburu. Ganindra bertaruh, gadis itu tidak akan berhenti mengomel karna dirinya sudah membuatnya berkeringat banyak hari ini.

"Dateng juga lo" seseorang menepuk bahunya, Ardhan. Teman satu fakultasnya.

"Venusha udah nungguin lo dari tadi di parkiran. Lo gak meriksa hape lo sejak kapan?" Ardhan menggeleng, heran dengan kebiasaan Ganindra yang memang jarang sekali memeriksa ponselnya, apalagi diwaktu weekend. Mungkin di jaman sekarang hanya Ganindra yang bisa hidup tanpa ponsel berhari-hari.

Lebih heran lagi pada adik tingkat mereka yang bernama Venusha Arginara itu. Bagaimana bisa selama bertahun-tahun menaruh hati pada laki-laki semacam Ganindra ini.

"Nusha nungguin gue? Padahal dia sendiri punya kelas jam segini" Ganindra hanya menggumam. Dirinya bukan tidak tahu kalau gadis itu menyukainya, siapapun di lingkungan mereka pasti menyadarinya. Hanya Ganindra tidak tahu bagaimana untuk menyikapinya.

"Lo kayak gatau aja kalo tu bocah bisa lupa semuanya kalo udah menyangkut lo" Ardhan tergelak.

Sambil terus mengobrol, mereka memilih untuk masuk ke auditorium. Mungkin acaranya sebentar lagi akan di mulai.

Ya, seperti kata Nusha. Ternyata hari ini jadwal sosialisasi untuk mahasiswa yang memilih ikut seleksi KKN nasional. Dimana tahun ini akan diselenggarakan di Yogyakarta, dengan peserta yang berasal dari setiap universitas Negeri di setiap provinsi seluruh Indonesia.

Biasanya setiap provinsi akan mengirimkan 5-20 orang untuk ikut program ini. Mahasiwa yang dintunjuk sudah lebih dulu menjalani beberapa seleksi kelayakan untuk bisa mewakili daerah mereka. Biasanya mereka yang ditunjuk sudah dikenal mempunyai nilai akademis yang baik dan aktif dibeberapa kegiatan kampus.

Bimala mungkin akan terkejut ketika tahu laki-laki yang dulu bahkan tidak tahu cara menganyam topi kerucut ospek mereka, sekarang sudah tumbuh menjadi lebih bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri.

"Apa gak terlalu berlebihkan, kumpul di auditorium cuma buat ngumpulin manusia 15 biji begini" Ardhan berkomentar, sedang Ganindra hanya terlekeh. Tidak menyangkal ucapan temannya itu.

Seperti sosialisasi pada umumnya, pihak kampus hanya menyampaikan hal-hal apa saja yang harus mereka siapkan, bagaimana seharusnya mereka bersikap sebagai tamu nantinya. Ya hal-hal mendasar semacam itu. Oh dan satu lagi, mereka diminta menyiapkan satu program unggulan yang bisa diimplementasikan ke masyarakat nantinya.

Sesuatu yang sederhana, namun membantu. Itu PR untuk mereka.

Setelah pertemuan itu selesai, Ganindra baru mematikan mode pesawat pada ponselnya. Mengecek beberapa notifikasi yang mungkin penting, laki-laki itu hampir menjatuhkan ponselnya karna terkejut dengan sesuatu yang tidak biasa.

Ada satu notifikasi unggahan baru pada status whatsapp yang sudah bertahun-tahun tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Sebuah gambar yang sedikit buram, tapi Ganindra masih mengenali punggung itu.

Itu foto Bimala tampak belakang. Ada apa dengan rambutnya? Kemana perginya rambut legam panjangnya? Kenapa hanya ia sisakan sepanjang bahu dengan ujung rambut berwarna kelabu.

Dan apa apa dengan punggung itu? Sudah berapa lama ia tidak makan dengan layak?

Tanpa berfikir panjang, Ganindra menekan tombol panggilan. Mencoba peruntungannya sekali lagi, namun sayang panggilan itu bahkan tidak berdering sedikitpun.

Setelah sekian lama, ia kembali dibuat khwatir. Ya, pencariannya harus segera dilakukan.

Finding Your P U L S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang