Finding 13

161 22 2
                                    


Jangan terburu, lagipula aku sudah punya segulung peta dan kompas waktu dalam saku. Kalau nanti aku sudah bersamamu, biar kuceritakan bagaimana menyenangkan panjang waktu melangkah menujumu. Dan lagi-lagi kita tidak perlu terburu, kamu bisa mendengar ceritaku disetiap waktu sebelum tidurmu. Kita punya waktu panjang untuk bersama, entah bagaimana aku ingin percaya kalau kita akan begitu, nantinya.

Bimala memandang cukup lama ponselnya, pesan masuk yang lekas ia balas ternyata tidak kembali mendapat jawaban. Apa maunya laki-laki ini?

Bimala kembali membuka gambar yang Ganindra kirimkan, mencoba mencari maksud yang coba laki-laki itu sampaikan. Tapi entah karna kepalanya memang punya masalah mencerna hal-hal ambigu tanpa clue, Bimala menyerah setelah lima menit mencoba.

Diletakkan kembali ponselnya di dekat lemari, kalau perlu dan memang penting untuk ia tahu, Ganindra pasti akan menghubunginya lagi. Kenapa ia harus sebegitu penasarannya bukan?

"Mala, yang lain pada mau jalan-jalan ke sawah. Ayo ikut" Widuri memanggilnya dari ambang pintu kamar.

Setelah sebelumnya mereka lebih dulu menyambangi rumah kepala desa untuk bersilaturahmi dan memohon izin tinggal sekaligus meminta izin untuk melakukan acara di balai desa untuk pembukaan kegiatan mereka.

Bimala mengangguk lalu mengambil langkah menuju Widuri. Perempuan berkerudung itu menjadi orang pertama yang bersedia menempelinya, gadis berkulit sawo matang dengen bulu mata lentik. Daripada cantik, Widuri lebih cocok disebut manis.

Pada jam-jam sebelum masuk waktu ashar, penduduk desa lebih banyak menghabiskan waktu mereka di sawah. Jadi lingkungan kampung hanya akan dipenuhi anak-anak yang sibuk keluyuran naik sepeda atau bergerumun untuk main petak umpet atau sekedar lari-larian sampai salah satu dari mereka menangis karna terjatuh.

Uti dan Akung bilang kalau mau bersilaturahi dengan warga, lebih baik menemui mereka saat sedang begini, hitung-hitung sekalian berkeliling melihat area persawahan.

Warga menyambut mereka dengan ramah, menawari mereka makanan seadanya yang mereka bawa dari rumah. Bahkan beberapa warga dengan baik hati memberi mereka beberapa batang singkong yang sengaja ditanam di sekitar pematang sawah.

Pak Mawan, salah satu pemilik sawah bilang bahwa sebenarnya mereka tidak mengharapkan banyak bantuan dari kedatangan anak-anak dari kampus. Mereka sudah merasa cukup senang kalau disapa dan diajak mengobrol hal-hal ringan selama mereka ada di lingkungan desa ini.

Anak-anak juga pasti akan gembira karna punya teman baru. Penduduk desa hanya mengharapkan bahwa kehadiran mahasiswa di desa mereka bisa tidak hanya sebatas tuntutan untuk sekedar mendapatkan nilai, mereka ingin tamu yang datang merasa nyaman dan senang selama ada di lingkungan mereka.

Bimala tersenyum mendengar penuturan itu, ikut membenarkan dalam hati. Karna meski mereka bersekilah lebih tinggi, namun pengalaman penduduk desa di sini jauh lebih banyak. Setumpuk teori yang mereka dapatkan di kampus tidak akan jadi apa-apa dibandingkan semua pengalaman yang warga punya.

Jadi daripada berusaha menggurui, mereka akan mencoba berbaur dan menempatkan diri sebagai teman.

Selain bersilaturahmi, Bimala dan yang lainnya ingin mengundang semua warga untuk dapat hadir dalam acara pembukaan KKN yang akan mereka laksanakan lusa di balai desa.

Ardhan selaku kordes—kordinasi desa, melakukan perannya dengan cukup komunikatif. Dengan sekali lihat siapapun akan faham bahwa laki-laki itu pasti anak organisasi yang cukup aktif.

Sekitar pukul 4 sore mereka kembali ke sekretariat, membersihkan diri sebelum kembali melakukan rapat selepas magrib. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan.

"La, hape kamu low itu" Intan, temen satu kelompoknya yang berbadan sedikit gempal tidak sengaja melihat ponsel Bimala menyala dan menampilkan notifikasi batre low.

Bimala meraih ponselnya, mengernyit setelah melihat 3 panggilan tidak terjawab yang semuanya dari Ganindra. Gadis itu ingat betul kebiasaan Ganindra, laki-laki itu selalu hanya akan memberi toleransi sebanyak tiga kali untuk panggilan penting yang ia lakukan. Kalau sudah tiga kali tapi tidak diangkat, Ganindra akan menyimpulkan bahwa pemilik nomor yang ia tuju sedang sibuk atau menghindarinya.

"Hallo" wah, bahkan tidak perlu nada sambung ketukan ketiga, panggilannya sudah langsung dijawab.

Tanpa Bimala tahu, Ganindra melesat dari duduk nyamannya di ruang tamu, hampir berteriak ketika melihat satu panggilan masuk dari nomor yang rasanya hampir mustahil menghubunginya.

"Kenapa?" Bimala membuka suara.

"Dulu waktu sepeda lo di sita Bunda dan lo maksa gue buat ngeboncengin lo naik sepeda karna lo kangen banget sama sepeda lo, inget gak?" Ganindra memulai ceritanya.

"Hm"

"Terus lo jatoh karna sibuk ngomel sampe pegangan lo lepas pas jalan berlobang"

Bibir Bimala sedikit melengkung, ia ingat kejadian itu.

"Inget gak waktu itu lo ngomong apa?" Ganindra menambahkan

Bimala hanya diam, bukan karna ia lupa. Tapi karna ia terlalu malu untuk itu.

Karena tidak mendapat jawaban, Ganindra berdeham sebelum melanjutkan ceritanya yang masih jauh dari kata selesai.

"Gue gamau pulang. Biarin aja gue nangis di sini seharian, biar Bunda malu anaknya diliatin orang-orang. Gue gabakal balik sebelum sepeda gue dibalikin" Ganindra bahkan mengikuti bahagimana cara Bimala berbicara sambil menangis waktu itu.

Lagi-lagi tanpa Bimala tahu, Ganindra menjadi pusat perhatian di ruang tamu, karna gaya bicaranya menirukan Bimala tentu saja didengar oleh telinga seisi rumah.

"Gak segitunya juga ya" Bimala memperingati, walau diam-diam bibirnya sudah tersenyum. Ah, dia mengenang kembali waktu itu.

"Lebih dari itu kan? Gue bahkan masih inget gimana lo nangis bukan karna lutut lo berdarah, tapi karna sepeda kesayangan lo di gantung di gudang dan bannya dilepasin semua sama Bunda" Ganindra tergelak di sebrang sambungan.

"Tadi waktu ngeliat dua bocah naik sepeda boncengan, gue keinget lo. Makanya gue kirim foto itu. Tapi kebetulannya mereka juga ngalamin apa yang kita alamin waktu itu. Anak perempuan yang dibonceng berdiri itu jatoh karna kakinya kepeleset dari pedal, sikunya berdarah. Persis kayak yang lo alami, tapi bedanya dia nangis kejer karna ngelihat ada darah di sikunya dan hebatnya nangisnya langsung berhenti waktu gue selesai nutup lukanya. Bikin geger satu kampung"

"Anggep aja itu ucapan selamat datang"

"Sambutan yang mengesankan ya" sudah lama sekali rasanya mereka bisa berbincang seperti sekarang, bahkan Ganindra hampir lupa bagaimana rasanya, dia bahkan berdebar sekarang.

"Bim"

"Ya?"

"Kalo terlalu susah buat balik jadi bagian lo yang dulu, kasih gue izin buat jadi bagian lo yang sekarang ya?"

Bimala membisu.

"Karna mungkin sekarang gue gak akan berjuang cuma sebatas teman atau sahabat buat lo. Lo boleh canggung atau enggak setuju, gue gak akan memaksa apapun keputusan lo, gue bilang gini karna gamau kalo nanti mungkin lo bakal bingung sama sikap gue"

"Gan"

"Lo gaboleh ngerasa gak enak, oke? Berhasil ataupun sebaliknya itu enggak jadi masalah walaupun sebenernya masalah buat gue, seenggaknya gue udah kasih diri gue sendiri kesempatan buat berjuang. Selebihnya, lo yang punya kendali"

Ganindra tidak mau menyalahkan keadaan sekali lagi, dulu dia sudah menyalahkan waktu yang membawa Bimala lebih dulu sebelum ia berhasil menyelesaikan ikatannya dengan Aqeera.

Jadi sekarang ia mau berjuang semampunya, mencoba adil dengan berterus terang pada niatnya.

Bimala mengurai rambutnya kebelakang setelah Ganindra berpamitan dan memutuskan panggilan. Kalau sudah begini, bagaimana ia harus menghadapi Ganindra kedepannya?

Finding Your P U L S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang