CC•32

186 27 5
                                    

Di sinilah Arkan sekarang, duduk di pinggir lapangan. Lapangan yang sama tempat ia pernah menghabiskan waktu bersama Fiona beberapa minggu lalu, tepatnya ketika teman sebangkunya itu sedih karena Reihan.

Kini Arkan ke sini bukan untuk bernostalgia tentang Fiona, melainkan untuk meluapkan segala beban pikiran yang berkecamuk di hatinya akibat pertengkarannya dengan Fiona di kelas tadi.

Basket. Arkan meluapkannya melalui olahraga satu itu. Satu jam sudah Arkan tadi bermain tanpa henti. Melempar bola ke sana ke mari dengan kecepatan rendah sampai yang tertinggi. Sekarang Arkan kelelahan. Oleh sebab itu ia beristirahat di pinggir lapangan, mengeringkan keringat yang terus mengucur deras dari dahinya dan membasahi seragam bagian belakangnya.

Sembari istirahat, Arkan merogoh ponselnya yang ada di dalam tas, Arkan menghidupkan layarnya untuk melihat pukul berapa sekarang.

16.33

Arkan menghela napasnya. Satu setengah jam berlalu cepat sejak ia datang. Detik berikutnya Arkan bangkit berdiri, membereskan barang-barangnya lalu menyampirkan ransel ke bahu kanan.

Arkan kemudian berjalan ke parkiran. Waktunya pulang.

Di parkiran, Arkan segera menaiki motornya. Arkan lalu menatap sekitar untuk mundur. Setelah memastikan keadaan sekitarnya kosong, Arkan pun memakai helm dan menghidupkan mesin motor. Namun saat hendak memasukkan gigi satu, mata Arkan menyipit, menatap seorang gadis yang duduk sendirian di ujung parkiran dengan bahu yang naik-turun.

Arkan lalu kembali memarkirkan motor seperti sebelumnya. Kemudian turun dan menghampiri gadis yang sangat ia kenal itu.

"Fani?" Panggil Arkan sembari menyentuh pundak gadis itu.

Ya, gadis itu adalah Fani. Fania Mandala, mantan kekasih Arkan.

Fani yang tidak tau kalau yang memanggilnya adalah Arkan pun terkejut begitu mengangkat kepala dan bertatapan dengan Arkan.

"Ar-Arkan?"

Arkan menatap Fani dengan kening berkerut. Wajah gadis itu merah, matanya sembap, Arkan jadi bertanya-tanya apa yang sedang terjadi pada Fani.

"Fani, lo kenapa?"

Fani menggeleng cepat sembari mengusap air matanya yang akan kembali turun.

"Hiks.... E-eng... enggak. G-gue gak kenapa-napa... Ar,"

Arkan menghela napas. "Jangan bohong. Udah ketauan nangis juga."

Dan tanpa aba-aba, tiba-tiba saja Fani memeluk pinggang Arkan. Fani menenggelamkan wajahnya pada perut rata Arkan.

Beberapa detik Arkan terkejut, namun detik berikutnya Arkan mengelus punggung Fani untuk menenangkannya. Arkan membiarkan Fani menangis sepuasnya.

Sepuluh menit pun berlalu. Setelah air matanya mengering, isakannya juga mulai mereda, Fani melepaskan pelukannya pada pinggang Arkan. Kepala Fani kemudian tertunduk, merasa bersalah karena sudah membasahi seragam Arkan.

"M-maaf, Ar, seragam lo jadi basah."

"It's okay! Boleh gue duduk?" Tanya Arkan.

Fani mengangguk sekali. "B-boleh."

Arkan pun tersenyum tipis lalu mendudukkan dirinya di samping Fani. Kemudian, Arkan mencondongkan tubuhnya ke depan dengan kedua tangan yang berpangku di kakinya.

"Lo kenapa, Fan? Gue gak pernah lihat lo sesedih ini," Tanya Arkan lagi tanpa menatap Fani.

Fani menghela napas masih dengan kepala tertunduk. "Ar... maafin gue..." Lirih Fani.

Cerewet Couple [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang