Bisik-bisik tetangga. Kabarnya, tetangga sebelah ada yang hamil di luar nikah. Beritanya dengan cepat menyebar, melalui Ashley yang kini tengah berbisik ke telinga Luna.
Luna terbelalak. Ia tahu perempuan yang dimaksud Ashley, Luna juga tahu betul siapa lelaki yang digosipkan menghamilinya.
"Perempuan gak tahu diri!"
Suara Luna menggema di ruang kelas dua belas IPA dua, membuat orang-orang yang ada di ruangan tersebut menoleh heran, tetapi enggan untuk ikut berurusan.
"Gue heran, kenapa juga dia bisa bunting sebelum nikah? Kaya gak ada alat kontrasepsi aja!"
Dengan tergesa, Luna berjalan ke salah satu tempat duduk teman kelasnya. Gadis namanya.
Luna menatap nyalang ke arah Gadis. Menuntut tindakan dari gadis berambut panjang di depannya. "Gadis, labrak dong! Masa pelakor lo diemin?" Gadis terbelalak. Sudah pasti Dita yang dimaksud oleh Luna.
Luna memperhatikan ekspresi Gadis yang kebingungan sambil menatap teman di sebelahnya.
"Lo tahu, 'kan? Si Dita itu yang anak IPA tiga, dia ada main sama pacar lo si Ares. Sampe hamil. Brengsek banget si Ares! Gue hajar juga itu cowok!" Luna terus saja mengoceh di hadapan Gadis dengan emosi yang meletup.
Bisikan kabar buruk akhirnya sudah sampai pada biang pencari sekaligus penyelidik kasus. Luna selalu up to date dengan kabar buruk yang ada di ruang lingkup sekolahnya.
Gadis mengembuskan napas gusar. Menunjukan dengan kentara jika Luna menjadi beban tambahan untuk masalahnya.
Luna mengambil tempat duduk di depan Gadis. Tubuhnya ia hadapkan ke belakang. "Gadis, lo emang gak curiga sama perselingkuhan cowo lo?" Luna menelitik.
Gadis menatap Luna tajam. "Ares gak selingkuh, Luna!" Gadis mendesis tanpa sadar, memancing rasa penasaran Luna terkait hubungan mereka.
Lalu, kalau bukan selingkuh, apa namanya?
Luna kelimpungan ketika cairan bening menetes dari pelupuk mata gadis di hadapannya itu. Kini, Luna hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Melihat itu, Catya yang sejak tadi memilih diam kini mengusap lembut bahu Gadis. Sedangkan penghuni kelas yang lain tak berani ikut campur, mereka hanya diam-diam menguping pembicaraan Luna dan Gadis.
Luna mematung. Meskipun ia tak tahu bagaimana rasanya jadi Gadis, tetapi ia bisa menangkap binar kesedihan dari sepasang mata di depannya.
Entah kenapa, pemandangan itu membuat emosinya tersulut. Dia paling tidak terima jika ada orang yang menyakiti perasaan orang lain. Seakan tidak berkaca, Luna kembali mendesis, "Kurang ajar."
Dengan tangan mengepal, Luna menegakkan tubuhnya. "Gue hajar juga tuh si Dita." Tekadnya bulat untuk memberikan sedikit salam perpisahan untuk Dita yang sebentar lagi didepak dari sekolah.
Tanpa menghiraukan cekalan tangan Gadis yang kini berusaha menahannya, Luna menatap Catya yang kini masih mematung di tempatnya.
"Cat, kok lo diem? Temen lo digituin sama orang, lo diem aja? Mana nyali lo? Biasanya juga maju paling depan!" Luna menantang.
Catya menatap Luna serius, jelas ia juga emosi dengan apa yang terjadi. Namun, alasan yang melatarbelakangi itu tak mampu membuatnya berkutik.
"Luna, gue gak apa-apa, kok." Gadis mengiba, menatap Luna yang masih dikuasi oleh amarahnya.
Luna menggelengkan kepala tegas. "Meskipun lo bukan temen gue, tapi gue gak suka sama orang yang melanggar batas dan aturan." Ia membalikkan tubuhnya menjauhi Gadis dan menepis tangannya.
Luna tetaplah Luna. Pendiriannya sekeras batu karang, perangainya setegas benang simpai.
Gadis itu berjalan cepat ketika melihat Dita berjalan di lorong bersama Ares dan kedua orang tua pria itu.
Luna berhenti tepat di depan mereka, membuat mereka menghentikan langkahnya. "Permisi, Om, Tante. Boleh saya pinjam Ditanya sebentar?" Luna tersenyum sopan.
Setelah mendapat anggukkan sebagai persetujuan, Luna menarik lengan Dita dan membawanya ke hadapan Gadis yang tengah mematung di depan kelasnya.
"Nih, hajar!" titah Luna.
Gadis tak bergeming, ia tersenyum getir sambil menatap Dita. Hanya ada perasaan benci dan kasihan yang campur aduk di benaknya secara bersamaan. Bingung sekaligus tak karuan.
"Gadis, maaf." Dita menatap Gadis takut-takut. Melihat mata sembab Gadis, Dita jadi tahu apa alasan tangannya ditarik oleh Luna barusan.
Skandalnya dengan Ares dengan mudah bisa dicium oleh publik.
Luna berdecih. "Maaf? Lo kira maaf bisa ngembaliin semuanya? Pikir dong, Dita! Lo punya pikiran gak, sih?" Luna kembali menyela dan menatap Dita dengan tatapan meremehkan.
Sontak hal itu memancing perhatian, meskipun tak ada yang berani terang-terangan menyaksikan aksi Luna.
"Makanya, jadi perempuan tuh gak usah gatel. Jangan mau diajak hubungan badan sama cowo!"
Catya yang sejak tadi bungkam, akhirnya tersadar ketika melihat reaksi orang-orang sekitarnya. "Luna, malu dilihat orang," tegur Catya sambil menatap Luna tajam.
Luna mengangkat sebelah alisnya. "Biarin! Biar orang tau kebusukan si Dita! Udah ngerebut pacar orang, sampai hamil pula," jelasnya dengan suara lantang.
Mendengar keributan yang terjadi, seorang Guru datang untuk melerai kerumunan atas laporan salah satu siswa. "Luna! Kamu sedang apa?"
Luna tersenyum. "Saya cuma ingin memberikan perpisahan hangat untuk Dita. Maaf jika saya menimbulkan keributan." Luna berujar sopan.
Alasan yang barusan keluar dari bibirnya seakan kontras dengan perilaku yang baru saja ditunjukannya. Setidaknya Luna masih punya sopan santun. Alhasil, dengan berat hati ia harus menyudahi aksinya kali ini.
Akhirnya, kerumunan dibubarkan. Catya membawa Gadis ke toilet untuk membersikan wajah gadis itu yang dipenuhi jejak air mata.
Luna kembali ke kelasnya, ia duduk di sebelah Ashley yang kini menaikkan sebelah alisnya. "Gimana? Puas?" tanya Ashley yang duduk sambil bertopang dagu di sebelahnya.
Luna mengangkat bahu dan terkesan tak terlalu peduli.
Memang iya, ini bukan urusannya. Mengurusi seorang gadis yang hamil di luar nikah dan didepak dari sekolah. Terlebih, gadis itu hamil oleh kekasih orang lain. Menjijikan.
Ashley hanya bisa menganggukan kepalanya setelah paham apa tujuan dari tindakan Luna barusan. Sudah biasa.
Selama dua tahun terakhir, Luna suka sekali mengurusi urusan orang lain. Seperti hari ini. Tentunya, bukan menjadi pihak netral, tetapi justru sebagai pihak yang pro maupun kontra. Luna sukanya memihak.
Memihak seseorang yang menurutnya benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sosiolog Nyasar
Teen Fiction(Follow sebelum membaca) Luna sepertinya diciptakan dengan keras kepala yang tinggi. Dirinya terlalu banyak mengkritisi dan mencampuri urusan orang yang ia anggap salah. Hari-harinya menjadi di luar nalar! Namun, apa boleh buat? Luna masih menjajaki...