4. Diem atau Gue Cium!

1.7K 261 38
                                    

Pelajaran terakhir selesai. Luna tersenyum manis menatap Gadis yang kini sedang sibuk merapikan bukunya ke dalam tas.

"Dis." Gadis menoleh dan menatap Luna. "Thanks," gumamnya sambil mengacungkan jempol kanannya.

Gadis mengangguk, sementara Catya menatap Luna tak suka. "Lain kali, itu otaknya pake belajar fisika, ya."

Luna mengangguk dan tersenyum. Tumben. Hal itu membuat Catya melengos mengikuti Gadis yang kini berjalan keluar kelas.

Luna menyelesaikan tugas piketnya. Sementara Ashley sudah pulang sedari tadi. Ditambah, Lea tidak masuk hari ini, Beni sedang dimintai tolong oleh Bu Malik. Jadi, hanya Zahra yang kini menemaninya piket.

Setelah selesai membersihkan papan tulis, ia pamit pada Zahra yang kini masih sibuk merapikan kursi dan meja.

Belum sempat ia meninggalkan ruangan kelas, langkahnya terhenti ketika Gerald berada di pintu sambil berdiri tegak.

Tangannya menyodorkan bunga yang tadi siang rencananya akan ia berikan pada Luna. "Buat lo," tuturnya.

Luna mengangkat alis. "Gue gak suka mawar merah," tolaknya. Gadis itu melangkah melewati Gerald. "Gue sukanya mawar item."

Gerald tersedak angin. Untuk seukuran tingkat kemanisan wajah Luna, mawar hitam sama sekali tidak cocok untuknya.

Gerald berusaha menahan Luna yang hendak menghindarinya. "Kita harus ngomong!" ujarnya sambil menarik pergelangan tangan Luna.

Gadis itu memberontak dan menepis cengkraman Gerald di pergelangan tangannya. "Ada apa?" Luna bertanya emosi ketika Gerald menginterupsi langkahnya.

"Ada yang harus gue bicarain sama lo," jawabnya. Tangannya kini mencengkram pergelangan tangan Luna.

Lagi. Gadis itu memberontak dan menendang kaki Gerald. Namun, tenaga pria itu lebih besar darinya.

Luna terus saja memberontak sembari menendang kaki pria itu, membuatnya jengah dan menghentikan langkah lalu menatap Luna.

"Bisa diem gak, sih?" tanyanya sebal.

Tak mau kalah, Luna terus saja menendang kaki Gerlad emosi. "Lepas!" titahnya. "Ngomong di sini aja!"

Gerald menggelengkan kepalanya. "Nggak. Di sini banyak orang." Gerald mengeratkan pegangannya. "Ikut gue!"

Pria itu kembali melangkahkan kakinya tanpa menghiraukan tendangan Luna pada betisnya. Tangan Luna yang terus memberontak juga ia hiraukan.

Tak kehabisan akal, Luna menendang betis Gerald dengan lebih kencang. Hal itu sontak membuat Gerald sebal, membalikkan badan dan menatap Luna marah.

"Diem atau gue cium?" Gerald memekik.

Luna mengangkat alis. "Cium aja," jawabnya santai.

Gerald terbelalak. Tak menyangka akan jawaban yang keluar dari gadis di depannya tersebut.

Gadis itu tersenyum sinis. "Biar gue bisa laporin lo atas tuduhan kasus pelecehan seksual," tandasnya.

"Hah?" Gerald tak paham, kenapa jadi pelecehan seksual?

Luna berkacak pinggang. "Emang lo pikir cium anak gadis orang sembarangan itu gak ada hukumannya?" Gadis itu berdecak malas. "Gini, nih, kalo kerjaannya cari ribut doang. Pikirannya pendek plus otaknya kosong. Gak tahu hukum, buta norma, rabun aturan. Kasihan banget hidup lo, Gerald."

Gerald tertegun. Lagi-lagi ia mati kutu. Perempuan itu selalu saja bisa mengelak, atas apa yang ia paparkan. Meyebalkan sekali.

Luna tersenyum manis. "Mana? Katanya mau cium?" tantang gadis itu.

Gerald terdiam. Cengkraman di lengan Luna juga melonggar. Kesempatan emas untuk Luna kabur, bagus sekali.

Namun, menyadari rencana gadis itu, Gerald kembali mengeratkan cengkramannya.

Luna mengangkat dagu, matanya melolot menatap Gerald dengan sangar. "Diem atau gue lempar meja?" ancamnya.

Lagi. Gerald hanya bisa pasrah membiarkan gadis itu meninggalkannya yang kini masih mematung.

Meratapi nasibnya yang berungkali kalah telak. Zidan benar, Luna itu tipikal perempuan yang tidak bisa ditaklukan sebatas hanya karena ego.

Gerald tidak takut dilempar meja, tetapi ia hanya merasa tertindas dengan tatapan dan perangai gadis itu.

Luna berjalan cepat. Ia melangkahkan kaki menuju motor besar berwarna hitamnya. Malas berurusan dengan manusia sejenis Gerald.

Belum sempat ia meninggalkan pekarangan sekolah, tiga orang gadis berdiri angkuh di hadapannya. Menghalangi jalan di depannya.

Luna kembali menuruni motornya. Menatap ketiga perempuan yang sudah mengganggu waktunya.

"Ada apa?" tanyanya tak suka.

Salah satu dari mereka melangkah maju. Gadis itu bernama Abel, anak kelas IPS satu yang ia permalukan tempo hari.

Luna meringis, tak ada urusan dengan kehidupannya.

"Lo, perempuan belagu." Claim Abel sambil memberikan tatapan tajamnya. "Emangnya lo siapa bisa tebar pesona di depan Gerald. Sampe nolak kaya gitu, huh? Ngerasa cantik?"

Luna mengangguk. "Emang gue cantik." Cengiran polos terpampang di wajah manisnya.

Abel tersulut emosi, ia mendekati Luna. Namun, gadis itu mengangkat tangannya. Tanda jika ia tak mengizinkan Abel mendekat.

"Tujuan lo ini mau ngelabrak gue? Mau bikin gue takut? Menye-menye nyuruh gue jauhin Gerald, iya?" tebak Luna.

Ia menatap gadis di depannya serius. "Gue gak bakal jauhin Gerald," tandasnya.

Abel hendak maju dan mendekati Luna. "Lo tuh ya ...." tetapi, belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Luna kembali mengambil alih keadaan.

"Dari awal, gue gak pernah deketin Gerald. Jadi kenapa gue harus ngejauh? Orang dia yang deketin gue duluan." Luna tekekeh. "Emang salah gue kalo gue cantik?"

Luna kemudian tersenyum manis. "Heh! dari pada lo kaya gini, mending lo pulang sana. Gak baik tau ngelabrak orang cuma gara-gara cowok." Luna meringis. "Shh. Kaya perempuan gak laku aja."

Luna kemudian menaikki motor hitamnya. "Baru SMA aja udah banyak tingkah. Kenapa? Kalo lo percaya diri, lo gak harus ngelabrak gue dan nyuruh gue buat ngejauhin inceran lo."

"Kecuali ...." Luna kembali menggantung ucapannya. "Kalo lo gak cukup percaya diri buat ngalihin perhatian Gerald dari gue."

Luna terkekeh kemudian mengenakan helmnya dan tidak menghiraukan Abel yang kini semakin sebal.

Meskipun sebenarnya Luna dengan senang hati menjauhi Gerald, tetapi orang semacam Abel harusnya tahu batasan dan tidak bersikap congkak.

Dua kali Luna menjatuhkannya. Padahal, Abel sudah menyusun kata sedemikian rupa untuk membuat Luna tak berkutik. Sialnya, belati yang hendak ia tancapkan malah berbalik ke arahnya. Kasihan sekali.

Sosiolog NyasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang