2. Siapa yang Pantas Menilai?

1.9K 304 43
                                    

Luna menelitik pria di depannya dari atas sampai bawah. Wajahnya berubah masam ketika memperhatikan pemandangan yang tersuguh di depannya itu.

Rambutnya berantakan, baju dikeluarkan, dua kancing atas terbuka, dasi dan sabuk tidak ada. Menjijikan.

"Halo, Luna!" sapa pria di depannya sambil menaik-turunkan alisnya. Mencoba peruntungan, semoga saja gadis di depannya ini akan tersanjung.

Luna berdiri dan menegakkan tubuhnya. Dagunya terangkat menantang, lengkap dengan senyuman sinis dan tatapan meremehkan.

"Gak punya sisir? Gak ada setrika di rumah? Gak punya duit buat beli dasi sama sabuk? Gak tahu caranya pake seragam? Kasihan!" Luna terkekeh.

Gadis itu kini berkacak pinggang. "Buat rokok ada, ke sekolah naik mobil, tapi penampilan kaya gembel."

Gerald, pria itu memperhatikan Luna dengan penasaran. Niat hati ingin disambut, malah digampar habis dengan kata-katanya. Cara gadis itu bicara membuatnya tertantang untuk mengalahkan egonya. Dasar perempuan angkuh.

Pria itu tiba-tiba mengaduh kesakitan ketika telinganya dijewer dan diangkat oleh gurunya. Ia meminta ampun kepada wanita paruh baya itu untuk melepaskan tangan yang hinggap di telinganya.

"Sakit, Bu," keluhnya.

Wanita paruh baya itu melepas jewerannya. Di saat yang sama, Gerald mengusap telinganya yang kini mulai memerah.

"Kenapa baju kamu dikeluarin kaya gini? Masukin!" titahnya.

Gerald cemberut. "Ibu cantik, gak boleh marah-marah, nanti cantiknya ilang, loh!" Gerald menatap wanita paruh baya itu tanpa takut.

Luna yang melihatnya bergidik. "Heh! Lo punya sopan santun, gak? Kalau bicara sama guru itu yang sopan, dong!" tegurnya saat wanita paruh baya tadi berlalu.

"Emang iya, perempuan kalo marah-marah nanti cantiknya hilang." Gerald membela diri, membuat Luna semakin menatapnya tak suka. "Persis kaya ini, nih." Dagunya menunjuk Luna yang berdiri tepat di depannya.

"Gitu cara lo bicara sama orang tua?" Luna memutari tubuh pria itu. "Perangai preman pasar lo bawa ke sekolah." Luna berdecak. "Malu! Orang tua lo nyekolahin lo susah-susah, tapi lo malah jadi sampah masyarakat. Bad boy kaya lo, tuh gak guna buat Negara!"

Tajam dan menusuk. Kontras, wajahnya manis sedangkan mulutnya pedas. Gerald kini hanya bisa menatap gadis yang tepat berada di hadapannya itu dengan penasaran tinggi, sekaligus sedikit rasa kesal yang mulai bergemuruh di dadanya.

Tidak. Ucapannya jelas membuat Gerald terhina. Luna baru saja menabuh genderang perang, dan dengan senang hati Gerald akan memberikannya. Karena ia suka kegaduhan.

Gerald berdeham. "Liat aja, gue bakal buktiin sama lo, kalo nanti lo bisa suka sama gue!" Gerald berkata dengan percaya diri, berusaha menyerang keberanian dari seorang Luna di depannya.

Luna berdecih. "Gue? Suka sama lo?" Luna terbahak. "Mimpi!" Senyuman manis terbit di bibir mungilnya. "Kaya gak ada cowo baik aja."

Gadis itu melengos tanpa mau menatap wajah Gerald yang kini terperangah dengan ucapannya.

Dengan cepat ia menahan tangan Luna, membuat gadis itu berbalik menatapnya dengan ekspresi jengah yang kentara.

"Lepas!" Ia menepis tangan Gerald yang bertengger di pergelangan tangannya.

Gerald mengerutkan dahi. "Bukannya selera perempuan itu kaya gini?" tanyanya serius.

Luna terbelalak, hingga sedetik kemudian ia terbahak. Lagi. "Kaya gini? Maksud lo, nakal? Penampilan aja gak karuan, boro-boro selera, yang ada eneg duluan." Luna tersenyum meremehkan. "Lo dapet bocoran dari mana, sih?" Luna bertanya heran.

"Dari temen gue, yang suka baca. Tuh, buktinya banyak yang suka sama gue." Gerald menjawab polos.

Luna terkekeh. "Laki-laki nakal kaya lo gini bisanya cuma nyusahin orang. Nyusahin guru, nyusahin orang tua, nyusahin orang lain." Luna memiringkan kepalanya, menatap tajam pria di hadapannya. "Seharusnya, lo gunain kesempatan lo sekolah dan membangun attitude dengan baik. Masih minta duit sama orang tua aja udah banyak gaya."

Luna mendorong bahu pria itu dengan telunjuknya. "Lo gak akan keliatan keren dengan gaya lo yang sembrawutan begini."

Lagi. Gadis itu berlalu tanpa menghiraukan ucapan Gerald yang masih ingin mengajaknya berbincang.

Gadis berambut panjang itu kini memasuki ruang kelasnya. Tatapan Ashley menuntut penjelasan terkait wajah Luna yang datang dengan masam.

"Kenapa?" tanya gadis itu sambil memperhatikan teman sebangkunya. "Habis cari ribut lagi?" tebak Ashley.

Luna mengibaskan rambutnya. "Siapa yang ribut? Orang gue cuma berusaha membuka mata orang-orang yang rabun aturan." Luna berkilah, tak terima ia dicap tukang cari ribut oleh Ashley.

Ashley mengangguk malas. Cara Luna menegur itu sama seperti orang cari ribut, setiap hari pasti saja ada tingkah laku orang lain yang dikomentari.

Luna meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Ia kini melangkahkan kakinya menuju kantin, tanpa menghiraukan Ashley yang kini berusaha menyejajari langkahnya.

Netra hitam itu terpaku pada kejadian di depannya. Saat perempuan berambut pirang menggebrak meja dan memarahi gadis yang kini tertunduk takut.

Luna memperhatikan kejadian itu dengan seksama. Menunggu gilirannya untuk kembali turun tangan.

"Gue pesennya gak pake saos, kenapa lo pakein saos? Ulang!" titah gadis berambut pirang itu.

Gadis lain di hadapannya membuka suara. "Tapi Abel, sebentar lagi masuk. Gue belum sempet makan siang."

Gadis yang dipanggil Abel itu berdiri dan menatap tak suka pada gadis di depannya. "Bukan urusan gue!" Abel mendorong bahu gadis itu. "Sana! Cepetan!"

Gadis itu melangkahkan kaki, hendak pergi ke salah satu kios yang Abel maksud.

Luna bergerak cepat. Ia meraih pergelangan tangan gadis itu, dan menatapnya tajam. "Gak perlu!" Sanggahnya.

Kemudian matanya menatap Abel. "Tiga ratus lima puluh tahun Indonesia dijajah Belanda, tiga setengah tahun indonesia dijajah Jepang. Tujuh puluh lima tahun lalu pejuang berusaha merebut kemerdekaan dan berhasil." Luna menjeda ucapannya.

Gadis itu masih menatap Abel dengan ketidaksukaan yang amat kentara. "Indonesia merdeka dari penjajah. Tapi, lo, menjajah bangsa lo sendiri!" Luna terkekeh. "Malu, Abel! Lo gak punya kontribusi atas perjuangan sampai Indonesia bisa merdeka. Tapi kelakuan lo, seolah-olah punya kuasa."

Abel hendak membuka mulut, tetapi Luna menyentil bibir gadis itu. "Udah punya apa lo sampai berani memerintah orang lain? Rambut pirang hasil nyalon lo itu udah lebih dari cukup. Tapi mental penjajah lo, itu bisanya bikin orang lain menderita! Sekarang udah gak zaman kali kerja rodi sama romusha."

Abel terdiam sambil menahan pedih akibat jari lentik luna yang menghantam bibirnya. Ia malu akan perhatian yang kini menatapnya seolah benci. Luna mengambil satu langkah ke hadapannya. "Lagipula, lo ...." ia menyentuh bahu gadis itu dengan telunjuknya. "Bukan siapa-siapa!"

Dalam hitungan detik, gadis itu tak lagi berkutik.

Sosiolog NyasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang