"Stt ...."
Luna meremang, saat tangannya ditahan dari belakang. Matanya ditutup oleh kain.
"Lepas!" Ia berontak, berusaha menginjak seseorang di belakangnya.
"Jangan berisik." Seseorang yang menahan tangannya berbisik, membuat kening Luna berkerut. Kaya kenal.
Luna berhenti berontak, ia terdiam. Merasa Luna mulai luluh, dirinya melonggarkan pertahanan. Saat yang tepat, kaki dan tangannya bergerak bersamaan, meronta hingga orang di belakangnya kelimpungan.
Luna berbalik, mulutnya menganga. Ia kemudian bersidekap dada. "Gerald! Lo tuh ya ...." omelannya tertahan, kesal. Dirinya sudah panik, dipikir ia ditahan penculik.
Gadis itu mengepalkan tangan, kemudian menghentakan kaki dan berbalik. Belum sempat menjauh, pria itu menahan lengannya, membuat Luna kembali berbalik.
Tepat saat itu, Luna menatap heran ekspresi wajah Gerald yang datar. "Apa?" tanyanya.
Gerald terdiam sejenak. Menatap gadis di depannya dalam-dalam. "Jangan berontak!" Titah pria itu.
Sorot matanya kelam. Hal tersebut membuat Luna meringis. Sejak kapan pria itu ikut casting film Serigala Kurang Ganteng. Tatapannya mirip dengan Gilang, pemeran utama di film tersebut kalau sedang marah. Dengan cepat, Luna mengambil ponselnya.
"Heh! Lo kenapa?" Luna bertanya heran.
Gerald melangkah mendekat. Luna mundur, tetapi ditahan oleh pria itu. Gerald berbisik di telinganya. "Gue, habis bunuh orang."
Luna terbelalak. "Hah?! Gue harus lapor polisi!" Luna pergi, beranjak menjauh, tetapi Gerald masih mencengkram tangannya.
"Lo pilih gue bunuh atau pilih jadi pacar gue?" Gerald bertanya to the point.
Luna mengangkat alis. "Hubungannya ngebunuh sama jadi pacar apaan, Solimi?" Gadis itu berdecak sebal.
Gerald bersidekap dada. "Gue itu ...." Gerald celingukan, memperhatikan keadaan sekitar. "Psikopat."
Luna melotot, tetapi sesaat kemudian tergelak. Kepalanya geleng-geleng menanggapi pria di hadapannya ini yang mulai bicara ngelantur.
"Gerald, jangan ngada-ngada, deh!" Ucapnya diselingi tawa. Dirinya masih tak habis pikir dengan kelakuan aneh Gerald tersebut.
Pria itu mengikutinya sampai ke sini, menahannya, hanya untuk mengatakan jika dirinya psikopat. Dasar kurang kerjaan!
Gerald mengerutkan kening. "Kok lo malah ketawa?" Ia bertanya heran.
Luna masih tertawa geli. "Bodoh! Psikopat masa iya sarap kaya lo! Mereka itu pinter, gak kaya lo. Suka sama cewe aja sampe jungkir balik ngomong gak masuk akal!"
Gerald terdiam. Ia gagal lagi. Sial!
Belum mau menyerah, ia kekeuh dengan pengakuannya barusan. "Gue psikopat, Luna! Cuma gue cinta sama lo. Makanya, gue gak akan sakitin lo," ujarnya. "Tapi kalau lo nolak terus, terpaksa gue ...."
Luna menghentikan tawanya. "Psikopat itu gak bisa ngerasain kasih sayang. Mereka gak punya empati. Di balik itu, mana ada psikopat maksa banget nembak orang. Kaya gak laku aja."
Gerald menggelengkan kepala. "Ada. Gue, psikopat baik hati." Cengirnya. "Banyak yang mau sama gue, guenya aja yang cuma mau sama lo."
"Lo, bodoh. Bukan baik hati. Baca, gih! Artikel tentang psikopat supaya mata lo melek." Luna memiringkan kepalanya. "Lagian, gue gak suka psikopat, gue masih normal."
Luna bergidik. Malas juga lama-lama meladenin pria semacam ini, aneh. Gadis itu memilih berjalan menjauh, ia memasang kembali headphone yang sejak tadi bertengger di lehernya.
"Lun ...." pria itu belum menyerah, masih saja berusaha mengajak Luna bicara. "Luna, gue sengaja ngikutin lo ke sini biar bisa ngobrol. Gue pikir lo bakal suka sama gue. Kali aja gitu, lo pengen punya pacar psikopat."
Gerald cengengeasan. Sedangkan Luna, dirinya masih bisa mendengar ucapan Gerlad. Hanya saja malas menanggapi. Dari mana juga pria aneh ini bisa mendapatkan pemikiran semacam itu.
Luna menghentikan langkahnya. Bukan. Bukan karena ingin menanggapi celotehan Gerald yang ngelantur, tetapi ia melihat polisi lalu lintas yang sedang bertugas.
Ia berlari ke arah pria berseragam cokelat tersebut. Diikuti oleh Gerald yang mengejarnya terheran-heran.
"Pak, tolong! Saya mau dibunuh sama dia." Gerald terbelalak mendengarnya. Napasnya terengah, membuatnya hanya bisa menjawab dengan isyarat tangannya.
Pria itu memperhatikan Luna dengan seksama. "Tadi, dia bilang baru bunuh orang." Luna mengeluarkan ponselnya, ia memutar rekamannya tadi.
"Gue, habis bunuh orang."
"Hah?! Gue harus lapor polisi!"
"Lo pilih gue bunuh atau pilih jadi pacar gue?"
Luna menatap pria paruh baya tersebut dengan sendu. "Pak, saya takut. Dari tadi saya diikutin sama dia," keluhnya. "Saya takut diapa-apain, Pak!"
Pria berseragam cokleat itu mengangguk dan menahan Gerald yang kini masih syok dengan mata terbelalak. "Kamu, ikut saya!"
"Lain kali, jangan lewat jalan yang sepi ya, Dek!" Polisi itu berbicada pada Luna sambil mencengkram tangan Gerald.
"Lun ... tapi, Pak!" Gerald bingung sendiri.
Luna berbalik dan bergegas pergi. ia tersenyum miring. "Rasain! kalau cuma acting sedih, gue juga bisa!"
Gadis itu menaiki taxi online yang sudah dipesannya. ia mengambil sebotol air mineral di dalam tasnya, meneguknya dengan rakus.
Ia terkekeh ringan, membuat sopir tersebut mentapnya dari cermin kecil dengan heran.
Dipikir-pikir, kasihan juga. ia sedikit kelewatan karena bertindak begitu. Tetapi kemudian, ia menggelengkan kepalanya. Gak jadi kasihan. Sekali-kali, Gerald harus dikerjai supaya kapok.
Luna tersenyum senang. Puas setelah mengerjai si psiko-bucin tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sosiolog Nyasar
Teen Fiction(Follow sebelum membaca) Luna sepertinya diciptakan dengan keras kepala yang tinggi. Dirinya terlalu banyak mengkritisi dan mencampuri urusan orang yang ia anggap salah. Hari-harinya menjadi di luar nalar! Namun, apa boleh buat? Luna masih menjajaki...