"Lo yakin si Luna bakal nerima lo?" tanya Zidan yang kini menatap Gerald tak yakin.
Gerald tersenyum miring. "Tentu. Perempuan itu cuma perlu bukti, nanti juga luluh sendiri." Pria itu menaikkan alisnya. "Gue cuma mau ngebuktiin kalau gue serius ngejar dia."
Zidan memincingkan matanya. "Tapi lo tahu, 'kan? Luna itu orangnya kaya gimana?" Zidan menatap Gerald serius. "Gue takut dia bikin lo malu nanti."
Gerald berdecak lalu meninggalkan Zidan dan tidak menghiraukan perkataannya barusan. Dengan percaya diri tinggi, Gerald menggenggam mawar merahnya dan berdiri di tengah lapang, menyingkirkan anak-anak yang sedang sibuk bermain sepak bola.
Maklum, jam istirahat begini banyak yang melakukan aktivitas di luar kelas. Tak terkecuali Luna yang kini ditarik paksa oleh kaki tangan Gerald. Tidak sopan!
"Lepas!" Luna berontak.
Kedua orang tersebut melepaskan pegangannya dan meminta Luna untuk berdiri di depan Gerald. Luna menuruti. Ia sendiri penasaran apa yang akan dilakukan oleh pria urakkan tersebut.
Ketika Luna berada di hadapannya, Gerald menatap manik matanya serius.
"Halo, Luna!" sapa pria itu ceria. "Lo cantik, kaya biasanya." Pria itu tersenyum manis menatap gadis di hadapannya.
Luna mengangkat alis. Padahal, tidak perlu repot-repot memberi tahu, Luna juga tahu kalau dirinya cantik. "Udah tahu, tuh."
Gerald tersenyum mendengar jawabannya. Ia kemudian berdeham. "Perhatian semuanya." Gerald bicara dengan suara lantang, membuat orang-orang di sekitar lapangan menatap dengan penasaran dan mengehentikan aktivitasnya.
Luna mengangkat alis. Menebak-nebak apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu kali ini.
Gerald menatap Luna dengan senyuman, kemudian kembali mengedarkan pandangan kepada mereka yang sudah memberi perhatian.
"Mulai hari ini, gue, Gerald Solimi, menyatakan hubungan gue dengan Laluna. Laluna sekarang, itu pacar gue." Luna terbelalak ketika mendengar hal tersebut terlontar.
Belum sempat protes, Gerald kembali buka suara. "Siapapun yang berani ganggu Luna, akan berurusan sama gue. Camkan itu!"
Hening sesaat. Hingga sebagian dari kerumunan menyoraki. Ada juga yang sebatas tersenyum, baper sendiri mendengar kata-kata Gerald.
Setelah agak lama terdiam, Luna terbahak. "Heh, Solimih, lo kesambet apaan? Salah minum obat?" Sarkasnya di sela tawa. Sementara Gerald tertegun mendengarnya.
Salah minum obat? Apa iya?
"Lo pikir lo itu siapa, Gerald?" Luna kembali membuka suara. Ingin segera menyudahi keadaan yang memuakkan ini.
Gerald tersenyum manis, tak terlalu mempedulikan maksud dan tujuan dari kata-kata Luna barusan.
"Seenak jidat main ngatain pacar, siapa juga yang mau pacaran sama lo!" Luna berdecak.
Gerald mengangkat alis, menatap Luna dengan gemas. "Gue juga gak minta persetujuan lo, Luna. Cukup orang lain tahu, dan gue akan ngelindungin lo."
Luna bersidekap, menatap remeh Gerald yang kini menanti kata-kata Luna selanjutnya.
"Masih minta makan sama orang tua aja udah banyak gaya, so-soan ngeklaim sepihak dan seenaknya jadiin anak orang sebagai pacar." Luna mengibaskan rambutnya. "Udah bisa dapat duit berapa buat ngapel? Gausah ngapelin cewek kalau masih pake duit dari orang tua!"
Riuh. Sorak-sorai bergemuruh, membuat Gerald kini malah tersulut emosi. Harga dirinya lagi-lagi dijatuhkan oleh perempuan di depannya. Kata-kata Luna kali ini begitu keterlaluan buatnya.
Luna mengangkat alis. "Udah punya penghasilan sendiri buat ngapelin gue?" Ia bertanya sekali lagi.
Dengan tangan mengepal, ia berteriak lantang. "Pokoknya, lo harus jadi pacar gue. Titik. Gak ada penolakan!"
Luna terbebelak, terkejut mendengar teriakkan Gerald yang tiba-tiba. "Wah ... orang tua gue aja kalo nyuruh gak pernah pake titik." Luna melangkahkan kakinya, mendekati Gerald yang masih berdiri angkuh di tempatnya.
"Memangnya lo siapa? Berani-beraninya ngatur hidup gue!" Luna menaikkan sebelah alisnya. "Gak mentang-mentang lo ganteng, gue jadi suka sama lo. Lo butuh lebih dari sekadar tampang buat bikin gue suka." Luna membuang ludah dan menginjaknya.
"Gue, gak akan pernah mau punya hubungan sama laki-laki kaya lo. Catet itu baik-baik!" Luna berbalik, tetapi baru beberapa langkah, ia kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Gerald.
"Dan satu lagi ...." ia tersenyum manis. "Jangan kebanyakan halu! Gue khawatir lo kebelinger." Luna terbahak dan menarik tangan Ashley untuk meninggalkan lapangan.
Biar saja. Kepercayaan diri Gerald yang terlampau tinggi itu harus sedikit dijatuhkan. Supaya ia tak terus mengawang, tetapi harus bisa membumi.
Ashley menatap temannya dengan heran. Puas sekali sepertinya gadis itu menertawakan Gerald.
Merasa mendapat tatapan semacam itu, Luna menghentikan tawanya dan menatap Ashley heran. "Kenapa?" tanyanya.
Ashley mengangkat bahu. "Kasihan, anak orang. Lo permaluin kaya gitu."
Luna berdecak. "Kenapa harus kasihan? Bukannya itu risiko dari tindakan gegabahnya, ya?"
Ashley menatap Luna serius. "Tapi kasihan, Lun. Lo tahu, 'kan? Itu di lapang banyak orang tadi." Luna mengangguk mengiyakan.
Ia menghentikan langkah sejenak. "Boom! Sebentar lagi santer kabar Most wanted SMA Bakti Negara ditolak oleh seorang Luna." Luna berdecak. "Hih ... basi, Ash!"
Gadis itu kembali melangkahkan kakinya, menghiraukan tatapan dari orang sekitar yang terkejut dengan pekikkannya barusan.
Ia mengambil tempat duduk di depan kelasnya, diikuti oleh Ashley yang kini berada di samping kanannya.
"Lun, kenapa lo nolak?" tanya Ashley. Luna mengangkat alis, membuat Ashley berdecak. "Kenapa lo nolak Gerald?"
Luna terkekeh. "Bukan tipe gue, lah."
Ashley menyipitkan mata. "Awas aja kalo lo suka," ujarnya.
Luna mengangguk mantap. "Gue gak bakal suka sama brandalan kaya gitu, pegang omongan gue." Luna kemudian menatap Ashley yang menatapnya tak yakin. "Gue serius, Ash. Laki-laki kaya Gerald itu minim tanggung jawab. Banyak gaya padahal otaknya kosong, kelakuannya bikin orang tua sendiri sengsara." Luna tersenyum miris.
Ashley menganggukkan kepalanya. Namun, ia masih menatap Luna tak yakin. Sontak saja tatapan ragu Ashley tersebut membuat Luna kembali berdecak.
"Kenapa lagi?" tanyanya.
Ashley berdeham. "Banyak yang awalnya benci jadi suka, awalnya gak mau, eh, ujungnya luluh."
Luna mengangguk. "Tapi bukan gue." Ia kemudian menatap Ashley penuh tanda tanya. "Jangan-jangan, lo korban halu juga, ya? Sama kaya Gerald?" Luna berdecak. "Perempuan itu harus punya prinsip, Ash. Sekali nggak ya nggak. Perempuan yang ujungnya luluh padahal awalnya udah nolak mentah-mentah, itu perempuan yang hidupnya gak punya prinsip."
Luna menegakkan tubuhnya dan memasuki ruang kelasnya. Sebentar lagi bel masuk dan jam pelajaran akan dimulai, maka bukan saatnya ia terus mengurusi urusan yang tidak penting.
Masih ada urusan yang lebih penting untuk persiapan jam terakhir nanti. Yaitu ... meminjam buku tugas fisika Gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sosiolog Nyasar
Teen Fiction(Follow sebelum membaca) Luna sepertinya diciptakan dengan keras kepala yang tinggi. Dirinya terlalu banyak mengkritisi dan mencampuri urusan orang yang ia anggap salah. Hari-harinya menjadi di luar nalar! Namun, apa boleh buat? Luna masih menjajaki...