01 [✓]

1K 124 10
                                    

Manusia memang anomali,
Kita berusaha keras melupakan yang seharusnya teringat, sekaligus,
Berusaha keras mengingat yang seharusnya terlupakan.

Manusia memang anomali,Kita berusaha keras melupakan yang seharusnya teringat, sekaligus,Berusaha keras mengingat yang seharusnya terlupakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ya, udah. Nanti akan om atur kepindahan kamu secepatnya. Meeira tidak perlu khawatir. Berkemaslah dengan santai. Oke?” Suara berat seorang pria terdengar dari ponsel seorang gadis yang kini tengah berdiri di balkon kamar sembari menikmati angin pagi.

Senyum gadis itu terangkat tipis. “Oke. Aku tutup telponnya ya, Om. Mau beres-beres lagi.”

“Iya, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Panggilan terputus, membuat Meeira terdiam dan menggenggam ponselnya dengan erat. Sorot matanya menunjukkan bahwa dirinya sedang lelah. Belum siap untuk menerima sebuah kenyataannya yang menghampirinya setelah sekian lama ia memilih untuk menghindar.

“Ra,”

“Iya, Bun?” Gadis itu mengakhiri sesi melamun, disaat melihat sang bunda masuk kedalam kamar. “Kenapa, Bun? Butuh bantuan?”

Tiara, bunda Meeira tersenyum lembut. Menghampiri sang anak yang tampak ikut tersenyum. “Pakaian kamu udah beres?”

Meeira mengangguk. “Udah kok.”

“Maaf ya, sayang.”

Kening Meeira berkerut bingung. Menatap wanita yang amat ia sayang dengan lamat. “Kenapa Bunda minta maaf?”

Tiara terdiam. Mengelus surai rambut Meeira dengan lembut dan penuh kehati-hatian. “Maaf, kamu harus balik ke Bandung sendirian.”

Meeira yang mengerti maksud perkataan sang Bunda tersenyum. Meraih tangan wanita itu dan mengusapkan pada pipinya. “Bunda gak perlu minta maaf. Aku ngerti kok. Lagian, Bunda sama Ayah nanti juga ikutan nyusul ke Bandung, kan? Bunda gak perlu khawatir. Disana juga ada om Rega dan tante Arna yang akan jaga aku.”

“Bukan itu maksud Bunda, Meeira.” Tiara semakin menatap sedih gadis kecilnya yang kini sudah bertambah besar.

“Lalu?”

Tangan Tiara bergerak menuju kearah tepat dimana jantung Meeira berada. “Hati kamu, sudah sembuh?”

Mata Meeira membola dengan sekujur tubuh yang kaku. Rasanya bibirnya terlalu keluh untuk mengeluarkan sebuah kata. Bundanya kembali menyinggung hal yang amat menyakitkan untuk kembali ia ingat.

Meeira mengambil nafas dalam, bibirnya terangkat, berusaha meyakinkan sang Bunda bahwa dirinya baik-baik saja. “Bunda gak perlu khawatir. Aku udah gak kenapa-napa kok. Kejadian itu juga udah lama. Aku...”

Ditatap dengan intens dengan sang Bunda, membuat Meeira tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia tau, Bundanya itu pasti sadar kalau dirinya sedang berbohong. Dan Meeira paling tidak bisa harus berkata bohong kepada sang Bunda.

SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang