****
"Ekhemm.. " Nugraha, selaku kepala keluarga berdehem setelah acara makannya selesai. Menarik atensi orang-orang yang ada di meja.
"Ada yang mau papah omongin," Ia berhenti sejenak melihat semua lawan bicara, "Terutama sama kamu Aldrich dan juga Fanny."
Dua orang yang di maksud sama-sama tak paham, menunggu Bapak Nugraha melanjutkan ucapannya.
"Begini Aldrich, Fanny, papa sama mama sebenarnya memang berniat mengenalkan kalian. dan fanny, kami percaya sama kamu selama dekat beberapa tahun, kami cukup terbiasa dan nyaman dengan keberadaan kamu, itu yang membuat kami percaya sama kamu."
Nugraha merasa tak perlu menjelaskan arti 'perkenalan' yang di maksudnya Karna pasti kedua orang itu sudah cukup mengerti.
Keduanya sontak sama terkejut dengan penuturan barusan
Fanny cukup terkejut coba mendengarnya, jika hanya berkenalan kenapa suasananya begitu serius ya? Ini terlalu menegangkan menurutnya. Kecuali arti perkenalan ini memiliki makna lain.
Tapi, tidak tidak mungkin, bagaimana bisa titisan pangeran surga, bersanding sama blasteran kentang begini. Enak di gue kalo beginimah. Fanny mulai bermonolog dalam hati, ketika terpikir tentang perjodohan.
"Papa apa-apaan si." Aldich menyuarakan protesnya.
"Aa denger. Kita gak maksa perkenalan ini untuk berhasil sampe kalian berjodoh. Tapi mama minta kalian saling mengenal dulu. Sekiranya gak cocok ya gak papa. Tapi kalo ngerasa pas, ya syukur. Selama ini kami gak pernah nuntut apa-apa kan sama Aa." Kalo Baginda Ratu sudah begini kan Aldrich jadi gak bisa nolak.
Memang selama ini Aldrich tak pernah dituntut apa-apa. Orang tuanya mempercayakan segala tindakan dan konsekuensi atas apa yang ia lakukan.
Aldrich menghela nafas pelan sebelum akhirnya menjawab
"Iya."Widia dan Nugraha tersenyum walaupun tak cukup puas.
"Terus kamu Fanny bagaimana?" Nugraha kembali bertanya pada perempuan berkerudung hitam.
Fanny menggigit bawah bibirnya, sambil melirik ketiganya bergantian ia bisa melihat Nugraha dan Widia menatapnya dengan penuh harap dan Aldrich melihatnya hanya berupa lirikan tak minat.
"Fanny juga terserah sama mama dan om. Fanny ngikut aja." jawabnya memilih aman, sambil tersenyum.
Aldrich sempet melihatnya terkejut bukan karna jawabannya tapi panggilan gadis itu terhadap ibunya kenapa harus mama. Walaupun pada akhirnya ia memilih tak mempermasalahkan itu, mereka mungkin memang sudah sedekat itu.
"Alhamdulillah kalo gitu. Dan kamu juga Fanny, mulai sekarang panggil saya papah aja masa sama mamanya Aldrich Mama tapi sama aya om,"
"Hhe iya ... pa."
****
Fanny sampai di depan kelas untuk mengikuti mata kuliah pagi itu. Pintu kelasnya dalam keadaan tertutup, tapi ia yakin didalam belum ada dosennya karna masih ada waktu 10 menit lagi. Juga keadaan kelas yang berisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLANO (REVISI)
General FictionTAHAP REVISI Fanny tak pernah mengharapkan jodoh dengan fisik sempurna, walaupun ingin. Ia lebih mengutamakan sikap dan sifat yang baik. Ia juga tak pernah membayangkan arah jodohnya datang dari mana, orangtuanya bukan seseorang yang gemar menjodohk...