4. Terpaksa

7.4K 555 2
                                    

Happy reading 💫
—–—————

Waktu menunjukan pukul setengah Empat, Fanny dan teman-temannya pamit untuk pulang. Putri naik mobil sendiri, sedangkan Fanny  menumpang Dava karna memang rumah Dava searah dengan kosannya.

Aldrich yang kebetulan pulang dari tongkrongan melihat calon yang dijodohkan dengannya itu turun dari motor dengan seorang pria. Ia berdecih dalam hati, gimana bisa perempuan baik-baik diantar oleh laki-laki sampe depan kost-nya.

"Eh gue mau liat dong cowo yang dijodohin sama lu."

Fanny melirik kearah rumah tetangganya, sebelum kemudian matanya membola kala melihat laki-laki itu sedang duduk diatas motor dengan tatapan kearah mereka.

Anjir, matilah gue auto disebut cewe gak bener. Rutuknya dalam hati.

Ia kembali menatap Dava yang ternyata mengikuti arah pandang Fanny tadi. Dava mengangkat sebelah alisna dengan artian bertanya, "Itu?"
Fanny mengangguk.

Dava tersenyum miring. Fanny yang melihat itu waspada.

Dava mengusap puncak kepala fanny dengan sayang sambil tersenyum manis dan berkata,"Aku balik dulu ya, hati hati."

Kurang ajar .

Fanny tak sempat bereaksi karna Dava keburu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Sumpah demi apapun Fanny sangat ingin nyumpal mulut biadabnya awas aja gelo gila gilaaa si davaaa, jeritnya dalam hati. Ia menghela nafas untuk mengatur emosi, kemudian berbalik ia bisa melihat Aldrich yang baru turun dari motornya tengah melepaskan helm.

****

Malamnya, setelah ia pulang dari supermarket, ia mampir ke tukang bakso kebetulan melihat Mama Widia dan anak cowoknya. Seketika itu juga jantungnya bertali lebih kencang, ia memegang dadanya.
Aduh, lemah amat si liat yang bening dari jauh aja udah begini rutuknya dalam hati.

"Eh Fanny, mau beli baso juga." Tanya Widia ketika menyadari keberadaan Fanny.

"Iya maa," Ia menjawab sambil tersenyum. Selama menunggu pesanannya selesai ia habiskan untuk sekedar ngobrol ringan dengan Mama Widia.

Perempuan paruh baya itu juga menanyakan perihal perkenalannya dengan anaknya itu, menanyakan progresnya sudah sampai mana. Sejujurnya Fanny tak punya jawaban pasti, sampe mana? Sampai mana apanya ngobrol berdua aja belum pernah , boro-boro bahkan sekedar ngobrol di chat pun tak pernah. Tapi Fanny memilih tak membeberkan kenyataan itu, ia hanya memilih jawaban aman dengan menjawab. "Yaa gitu deh ma."

Widia beralih menatap putranya yang ternyata tengah memperhatikan mereka, Widia tersenyum gemas. Menyangka Aldrich mulai tertarik dengan Fanny, padahal kenyataannya cowok itu hanya penasaran dengan sosok yang berusaha dijodohkan dengannya.

Selama mengobrol Fanny tak menatap atau mencuri-curi pandang kearah Aldrich ia terlalu tak siap entah tak siap apa.

"Eh kamu kesini naik apa?" Tanya Widia ketika mereka sudah mau beranjak untuk pergi.

"Jalan kaki aja ma deket jugakan."

"Oh yaudah kalo gitu ikut kita aja, kebetulan bawa mobil, itu tadi abis dari saudara mama," Ajak Widia sambil menggandeng tangan Fanny.

Fanny hanya tersenyum dan menggangguk, karna posisinya emang udah di gandeng gini.

******

Selama perjalanan tadi Widia sudah menyinggung tentang tanggal pernikahan mereka kalau-kalau keduanya menyetujui, katanya tak perlu lama-lama cukup sebulan setelah mereka memberi jawaban, pernikahan akan dilaksanakan. Fanny  lebih banyak senyum sungkan bingung untuk beraksi seperti apa. Padahal ia belum memberikan persetujuan.

Sekarang ia sudah dikamar setelah tadi sampai dan berpamitan.

Sedangkan disisi lain.
"Maa yang bener aja pernikahannya sebulan lagi, itu terlalu cepet kali maa." Adrich merengek pada mamanya agar pernikahan diadakan tidak terlalu cepat.

"Nggak sayang, pokonya tetap sebulan lagi. Lagian kamu kenapa si?  Segala urusannya biar mama aja yang ngatur, kamu tinggal apalin pas akadnya aja," Jawab Widia sambil berjalan kearah dapur.

Padahal Aldrich sama sekali belum melancarkan pendekatan. Setelah seminggu lalu Ibunya memberi nomor cewek itu, nomornya sama sekali belum ia hubungi, hanya tersimpan rapi di kontak. Walaupun begitu memang beberapa hari lalu, Aldrich dengan sangat terpaksa menyetujui perjodohan itu. Omongan orangtuanya pas awal yang mengatakan tak masalah jika perjodohan ini tak berhasil ternyata hanya omong kosong.

Karna selepas kepergian Fanny setelah acara makan malamnya itu kedua orangtuanya malah menekannya untuk menyetujui saja perjodohannya. Aldrich berkali-kali sudah bilang tak bisa, tapi tiap hari setelahnya Ibunya selalu merongrong dengan pertanyaan yang sama. Ibunya selalu membujuknya dengan air muka memprihatinkan sehingga membuatnya tak tega. Karna itu juga pada akhirnya ia menerima saja perjodohannya.

"Lagian Fanny juga setuju-setuju aja kok." Lanjut Widia. Menyadarkannya dari lamunan.

"Yakan beda maa." Jawab Aldrich padahal ia juga ragu, benarkah cewek itu setuju-setuju saja dengan rencana Ibunya ini, apa jangan-jangan cewek itu diam-diam juga dipaksa oleh Ibunya. Aldrich menghela nafas lelah.

"Udah, udah pokonya satu bulan lagi." Widia berbicara dengan nada tegas tak bisa dibantah.

Aldrich memilih beranjak ke kamar untuk beristirahat.

*******
To be continued!

PLANO (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang