Sebatas

52 4 0
                                    


Sebatas

Sunyi dan sepi, hanya ada kita berdua di halaman belakang restoran tempat kami reuni. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja laki-laki yang berdiri di depanku ini mengirimkan pesan dan menyuruhku datang. Ingin berbicara empat mata katanya. Awalnya aku menolak bahkan, sama sekali aku tak membalas pesannya. Tapi, dia malah menelfonku berkali-kali. Jadi, aku terpaksa ada di sini. Di belakang punggung laki-laki tak tahu diri.

Kami masih diam sejak beberapa menit yang lalu aku datang menemuinya. Dia masih memunggungiku, entah apa maksudnya. Sejak berpisah selama empat tahun aku akui jika dia semakin tampan dan badannya semakin tegap dan aku semakin terlihat kecil. Aku ingin menegurnya, tapi dia yang mengajakku kemari jadi aku tidak akan menyapanya lebih dulu atau bertanya apa pun padanya lebih dulu. Enak saja, setelah berpisah pun dia masih ingin mempermainkanku? Itu tidak akan pernah terjadi lagi.

Cukup malu aku dibuatnya, apa pernah membayangkan? Seorang perempuan mengungkapkan perasaannya pada laki-laki dan ditolak secara tidak langsung, caranya memang cukup halus tapi itu malah lebih menyakitkan untukku. Dia tak mengatakan jika dia tidak mencintaiku atau mencintaiku juga. Apa yang dikatakannya sungguh ambigu.

"Ariana, maaf, tapi aku tidak pernah tahu perasaanmu."

"Aku benar-banar tidak tahu, aku bingung, Ariana."

Dasar, bagaimana mungkin dia tak tahu perasaanku. Seharusnya laki-laki itu peka tentang apa yang mereka perbuat. Perhatian kecil dan kode, bahkan aku telah mengenal keluarganya. Dan bisa-bisa dia mengatakan jika tak tahu perasaanku? Seharusnya dia sadar, dengan apa yang ia perbuat itu pasti akan membuat wanita jatuh hati. Semestinya dia juga sadar, jika aku terbawa perasaan padanya. Semuanya sungguh jelas dimataku. Jika dia tak mencintaiku cukup katakan dengan jujur. Tidak malah mengatakan sesuatu yang tak dapat kuartikan. Kemudian pergi begitu saja dan mengabaikanku.

Dia membalikkan badannya dan aku sedikit tersentak, tapi walau begitu jantungku seakan mau copot. Dia menatapku, tatapan yang masih sama seperti dulu. Begitu dalam. Sial, aku tidak boleh jatuh lagi. Aku benci matanya yang seperti magnet selalu menarikku. Begitu dalam seperti gravitasi membuatku jatuh dan menetap di sana.

Dia melangkah, satu langkah. Saat ini jarak kami semakin dekat dan aku semakin terlihat pendek, dia begitu menjulang mungkin aku sebatas dadanya. Ah, kenapa aku harus membahas tubuhnya, seharusnya aku lupakan saja semua tentangnya. Aku harus fokus, tidak boleh tergoda dan jatuh cinta lagi. Ingat Ariana, kamu sudah membuang jauh-jauh perasaanmu itu. Dia bukan lagi orang yang kamu sukai dia juga bukan temanmu lagi. Ingat dia adalah orang asing.

"Apa kabar, Ariana."

Suaranya begitu rendah dan dalam, suara yang masih sama saat memanggil namaku 'Ariana'. Jujur, sekarang aku gugup sekali, seperti mengulang pertemuan empat tahun lalu saat aku berhadapan empat mata seperti ini. Saat aku mengungkapkan semuanya dan membenci hal tentangnya pada saat itu juga.

Aku memalingkan wajahku, sungguh muak mengingat kenangan itu. Hubungan pertemanan kami rusak pada waktu itu. Kami seperti orang asing padahal sebelumnya begitu dekat. Sebenarnya aku tidak mau lagi bertemu dengannya. Datang ke acara reuni ini juga karena terpaksa, karena sudah dipastikan kita pasti akan bertemu.

"Ariana, kamu menghindariku?" tanyanya tak tahu malu. Omong kosong apa itu, kenapa dia bertanya seperti itu. "Sedari tadi kamu menghindariku, apa tidak merindukan temanmu ini?"

Dia gila, Haidar sangat gila. Dia sendiri yang merusak pertemanan kita. Mana mungkin kita masih menjadi teman. Sejak saat itu kita adalah orang asing. Dengan seenak jidatnya dia menanyakan kabarku tanpa beban sedikit pun. Apa dia tak merasa bersalah telah mengabaikan perasaanku begitu saja? Dan kabarku? Tentu saja kabarku sangat baik, tanpa kamu di kehidupanku lagi dan aku tidak pernah merindukanmu.

Sepotong RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang