Rasa yang Sebenarnya

23 3 0
                                    

Kepada siapa sebuah rasa harus diutarakan. Kepada siapa sebuah rasa itu harus dimiliki.


Gadis berhijab dengan gamis berwarna pastel itu terlihat sedang menata beberapa kotak kecil  berisi makanan ringan di meja. Hari ini ada seminar yang diadakan oleh kampusnya dan gadis itu bertugas di bagian konsumsi. Tugas yang  tak begitu berat, tapi menanggung banyak beban. Beban pada perut peserta seminar, bagaimanapun mereka tidak boleh kelaparan kan?

Setelah selesai menata kotak makanan itu, Sania melirik pada jam tangannya, masih ada waktu 30 menit sebelum acara dimulai. Halaman depan aula juga masih sepi, belum ada tanda-tanda peserta seminar datang. Ia melihat panita lain yang tampaknya masih sibuk mempersiapkan berbagai hal, ada yang menata kursi di dalam, ada yang menyiapkan sambutan untuk pemateri, dan ada pula yang masih menyiapkan meja registrasi. Semuanya sibuk kecuali Sania dan panitia lain di bagian konsumsi.

Sania duduk santai pada kursi di sembari memainkan ponselnya. Membuka instagram melihat-lihat postingan beberapa orang di sana. Ia juga membalas beberapa pesan dari teman-temanya yang menanyakan acara itu sudah dimulai atau belum. Ada yang izin tidak berangkat, telat, tidak bisa mengikuti seminar sampai selesai. Padahal seharusnya mereka tidak boleh izin padanya. Sania hanya bisa memaklumi itu hal yang biasa terjadi.

Ternyata waktu 30 menit berlalu dengan cepat. Beberapa peserta telah datang, tetapi ada yang masih menunggu di pelataran, ada pula yang masih memarkirkan motornya di halaman belakang aula. Sania menyimpan ponselnya lalu berdiri menyambut peserta, dan ia tidak boleh lupa dengan makanan ringan yang harus dibagikan.

Seorang teman menghampirinya, dia adalah Nanda teman satu prodinya. Gadis itu datang bersama seorang laki-laki, mungkin pacarnya. Setelah melakukan registrasi ia menghampiri Sania, kalau bukan untuk makanan apalagi?

"Makanan di dalamnya enak gak, San?" tanya Nanda blak-blakan menunjuk kotak itu. Membuat Sania tertawa kecil, temannya satu ini memang tak pernah punya malu, ia selalu percaya diri.

Seseorang di samping Nanda hanya berdehem, mungkin ia malu pada tingkah Nanda yang memalukan itu. Untung hanya ada mereka berdua dan Sania.

"Apaan sih, lo. Biasa aja, cuma nanya makanan doang." Nanda sewot.

"Bikin malu, kalau minta makan nanti gue beliin sekalian borong."

"Kan gue cuma basa-basi sama Sania aja, " gemas Nanda pura-pura kesal.

Nanda menatap laki-laki itu gemas, dasar tak paham perempuan bagaimana, padahal Nanda hanya basa-basi pada Sania.

Sania hanya bisa menatap sepasang manusia yang tengah jatuh cinta itu dengan kikuk. Nasibnya sebagai jomblo emang selalu seperti ini, secara tidak langsung ia selalu menjadi obat nyamuk. Kadang Sania juga tak nyaman, tetapi karena sudah terbiasa jadi tak masalah. Asal jangan ada lagi pertanyaan kenapa enggak cari pacar.

Pertanyaan itu kadang mengganggunya, tapi karena Sania cuek, dia hanya mendiaminya. Tapi siapa sih yang tahan dengan pertanyaan seperti itu, walaupun ia jomblo bukan berarti ngenes. Sania jadi gemas sendiri. Dan lagi, pertanyaan yang membuat Sania lebih gemas. Yaitu, pertanyaan apakah dirinya tidak pernah suka pada lawan jenis. Oh, ayolah, Sania juga manusia biasa yang bisa jatuh cinta. Siapa orang di dunia ini yang belum pernah jatuh cinta? Rasanya tidak ada, mungkin beberapa persen saja.

Dua orang didepannya masih berdebat, padahal dibelakangnya masih ada yang mengantri. Beberapa telah datang. Sania berdehem, membuat kedua pasangan itu menghentikan perdebatan sepele itu.

"Hehe, maaf, San. Dianya ngeselin."

"Enggak apa-apa, Nda"

Sania menyerahkan kotak itu pada Nanda, gadis itu menerimanya dengan senang.

Sepotong RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang