Anak Kecil dan Sekeranjang Donat

36 4 0
                                    

Anak Kecil dan Sekeranjang Donat


Hari ini sangat melelahkan bagi sesosok laki-laki berusia sekitar 28 tahun. Pekerjaannya sebagai dosen memang tak selalu menyenangkan. Kadang ada dihari tertentu dimana waktunya ia habiskan untuk mengajar. Belum lagi, harus mempersiapkan materi untuk pertemuan selanjutnya. Seperti hari ini, hari Kamis adalah jadwal terpadatnya. Dari siang sampai sore waktunya penuh untuk mengajar. Biasanya ia akan langsung pulang dan menikmati secangkir kopi di kontrakannya.

Ngomong-ngomong soal kopi, pasti akan lebih enak jika dinikmati dengan cookies atau kue sejenis donat. Adrian jadi ngiler sendiri membayangkan rasanya. Sudah lama sekali sepertinya ia tak menikmati perpaduan rasa keduannya. Rasa sederhana yang memberinya banyak makna.

Ia melirik sekilas jam yang menggantung pada dinding kelas. Hampir jam lima, mata kuliah terakhir untuk hari ini akan segera selesai. Perhatiannya teralihkan pada para mahasiswanya. Wajah-wajah yang terlihat lelah, keringat yang mengering, makeup yang hampir luntur diwajah cantik mereka dan rambut yang kusut dan berantakan diantara mahasiswa laki-laki. Hal itu mengingatkannya pada beberapa tahun lalu saat ia berada diposisi mereka.

Senyum Adrian terukir. Bagaimanapun ia juga manusia biasa yang pernah melakukan kesalahan, malas-malasan, tidur di kelas, menyontek. Tidak ada mahasiswa yang benar-benar suci di dunia ini.

Laki-laki itu jadi teringat pesan ibunya, "pada dasarnya, semua manusia adalah pemalas. Yang membuatnya sukses adalah bagaimana dia mau bergerak. Merangkak, berlajan, atau berlari, semuanya memiliki jalannya sendiri. Jangan sampai kamu hanya berdiam diri."

Dan Adrian selalu mengingat pesan itu, dosen muda itu merasa sangat ketika melihat senyum bangga sang Ibu di hari kelulusannya, dan senyum bangga pada saat ia dinyatakan lolos CPNS dan menjadi dosen seperti sekarang. Sungguh, Adrian merindukan senyum wanita paruh baya yang telah melahirkannya.

Setelah mengakhiri kuliah sore ini, Adrian segera bergegas ke ruang dosen. Menyelesaikan beberapa urusan dan bersiap untuk pulang. Laki-laki berbadan tegap itu melihat kearah langit sejenak sebelum ia menghidupkan motornya. Awan terlihat sedikit mendung, mungkin sebentar lagi akan hujan. Adrian harus cepat sampai kontraknya.

Dan benar saja, belum lima menit perjalanan, hujan telah mengguyur tubuhnya. Sialnya, dosen muda itu tak membawa jas hujan. Namun, ia sedikit beruntung, tubuhnya masih dilindungi jaket yang terbuat dari kulit.

Dari kejauhan ia melihat sesosok anak laki-laki yang duduk di teras kontrakannya. Berteduh mungkin, pikirnya.

Adrian memikirkan motornya, kemudian ia menghampiri anak laki-laki itu. Bajunya sedikit basah dan wajahnya pucat. Di tangannya, menenteng keranjang. Entah apa isinya. Anak laki-laki itu menyapanya, senyum lugunya sedikit mengobati rasa lelahnya sore ini. Adrian berjongkok, menatap anak itu lekat-lekat.

"Saya hanya menumpang berteduh di sini," ucapnya polos. Adrian tersenyum. Padahal ia tak mempersalahkannya.

"Tidak apa-apa, mau masuk?"

Anak itu hanya menatap Adrian, antara perasaan sungkan dan takut. Padahal Adrian tidak akan berbuat jahat padanya. Tapi anak kecil selalu mempunyai ekspetasi sendiri mengenai orang asing.

"Jangan takut, ayo masuk, di sini dingin." Tanpa perlu menunggu persetujuan, Adrian menggandeng anak itu masuk ke dalam kontrakannya.

Ia menyuruh anak itu untuk duduk di sofa, sementara Adrian menyiapkan teh hangat untuk anak itu dan kopi untuk dirinya. Ia memandang anak kecil itu dari dapur, anak yang tangguh, batinnya. Bahkan Adrian tak berpikir macam-macam tentangnya, wajah polosnya sudah sangat menjelaskan. Bahwa anak itu anak-anak baik-baik, bukan bagian dari komplotan penjahat yang memanfaatkan situasi seperti ini.

Sepotong RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang