dua

17 0 0
                                    

Nala berdiri di pintu garasi dengan tatapan tertuju pada rumah bercat putih diseberang rumahnya. Memperhatikan beberapa orang  keluar masuk dari rumah itu, menurunkan satu persatu barang dari 2 truk pembawa barang. Nala mengendikan bahunya tidak peduli kemudian berlalu memasuki rumahnya.

"Ibun, Bi Ain." Nala mencium pipi Kartika-ibunya- dan menepuk pundak pembantunya yang sedang berkutat di dapur.

"Hai sayang, udah pulang kamu." Kartika melirik sekejap ke arah anak bungsunya lalu kembali sibuk kepada masakan di depannya.

"Eh, hai Non Nala."

"Udah dong bun, ohiya bun, itu rumah depan ada yang nempatin lagi ya? Ibun udah kenalan sama yang nempatin?"

"Keliatannya sih gitu, gatau juga, Ibun belum ketemu sama yang punya rumah."

"Ooo, kirain Om Mahen sama Tante Anin bakalan balik lagi ke rumah itu."

"Ibun ngiranya juga gitu, soalnya gapernah ada info rumah itu dijual. Kenapa kamu gitu?" Tanya Kartika ketika melihat putrinya melamun.

"Kangen Kak Ersa, kan kalau ada Kak Ersa Nala jadi punya temen lagi."

"Kangen kangen, kemarin waktu nikahan si Cakra kamu nggak mau ikut, kan bisa ketemu Ersa juga, bonus ketemu Darren."

"Apa hubungannya sama Kak Darren coba, ngapain juga gara gara nyebut Darren Ibun jadi senyum senyum sendiri" Nala melirik Kartika yang masih tersenyum.

"Senyumin calon mantu kan gapapa Dek."

"Hah apaan? Ibun nggak jodohin adek sama Kak Darren kan?" Nala jadi teringat alur cerita novel wattpad yang ia baca, membayangkannya saja sudah membuat dirinya bergidik ngeri.

"Hahaha." Kartika tertawa "Enggak sayang, Ibun bercanda, Ibun jadi inget waktu kamu kecil suka ikut Rajen main sama Darren, kalau ditanya alesannya kenapa mau ikut, kamu jawabnya mau ketemu Darren, terus kalau udah ketemu Darren seneng banget kamu." Kartika melanjutkan tawanya.

"Hah? Nala dulu kek gitu Bun? Demi apa? Nggak mungkin Nala dari kecil ganjen sama cowo." Nala mencoba mengingatnya.

"Dih lupa, Nala gitu kan Bi? Tanya Ayah sama abang abang kamu sana, tanya Cakra, Ersa, Darren, Om sama Tante sekalian kalau perlu, haha."

"Hehe, iya non, bener kata nyonya." Bi Ain menambahi.

"Bodo amat bodo amat, Nala mau ke kamar aja, disini dibully." Nala berlari menuju kamarnya.

Nala merebahkan tubuhnya ke kasur bersprei biru tua. Menatap kosong kearah langit langit kamarnya. Pikirannya menerawang jauh ke masa kecilnya, mencoba mengingat apa yang dikatakan ibunya tadi. Hasilnya nihil, Nala sama sekali tidak ingat. Tak peduli, Nala beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Tak butuh waktu lama bagi Nala membersihkan diri. Nala keluar dari kamar mandi mengibas ngibaskan rambut basahnya. Seragam yang sejak tadi pagi menempel pada tubuhnya sudah berganti dengan kaos hitam oversize yang menutupi hotpants putih di pahanya.

Kakinya melangkah menuju meja riasnya untuk mengeringkan rambutnya, niat mengambil hairdryer ia urungkan saat melihat boneka teddybear berwarna krem terduduk di meja riasnya.

"'Bangsat." Batin Nala mengumpat.

Tatapan kebencian Nala lemparkan kepada boneka itu. Matanya memerah seperti menahan tangis, handuk yang sejak tadi berada dalam genggaman Dhara dilempar ke arah boneka tak bersalah itu.

Pranggg...

Lemparan handuk tadi mengenai boneka dan beberapa botol kaca di meja rias, sehingga membuat botol botol itu terjatuh. Nala terduduk di lantai, masih dengan tatapan seperti tadi.

Rajen yang baru saja melewati depan kamar Nala mendengar suara pecahan dari kamar adiknya langsung berlari memasuki kamar Nala. Menghampiri Nala "Dek, Adek gapapa? Nggak kena pecahan botolnya kan?" Hening, Nala tetap diam.

"Hey, Dek?" Rajen mengguncang bahu Nala, dan masih saja diam.

"Nala sayang, hei, Nala kenapa?" Nala berkedip meneteskan liquid dari sudut matanya. Rajen yang melihat itu langsung menarik Nala ke pelukannya, mengelus pelan kepala adik kesayangannya itu. Tangisan Nala pecah.

"Sst, udah udah, ada Abang, Nala tenang ya." Rajen melepaskan pelukannya, menggendong Nala mendudukannya di tempat tidur lalu memeluknya lagi. Setelah Nala lebih tenang Rajen melepaskan pelukannya menatap Dhara. "Kenapa nangis? Kenapa itu di lempar handuk?"

Nala menunjuk boneka dilantai, "Siapa yang bawa itu ke kamar Nala?"
Rajen melihat boneka yang sebagian tertutup handuk langsung berdiri mengambil boneka itu lalu berjalan menuju pintu kamar Nala.

"Mungkin Nida, soalnya tadi dia dipanggil Ibun buat bantuin Bi Ain, udah ya, bonekanya mau Abang bakar, nanti Abang panggilin Bi Ain buat beresin pecahannya, jangan deket-deket pecahannya, Nala jangan nangis lagi ya." Nala menganggukkan kepalanya, Rajen tersenyum, mencium kening Nala lalu keluar dari kamar Nala dengan boneka ditangannya.

Nida adalah wanita seumuran Rendra yang terkadang dipanggil Kartika untuk membantu atau menggantikan Bi Ain ketika Bi Ain sedang pulang kampung.

Mengingat Nida, Nala menghembuskan nafasnya kasar, sebenarnya Nala sedikit tidak menyukai Nida. Wanita yang usianya hampir sama dengan Rajen itu sering seenaknya jika tidak ada ayah dan ibunya dirumah, apalagi mengingat bagaimana Nida berusaha mendekati Rendra. Nala menyisir rambutnya lalu keluar menuju lantai bawah untuk mencari Nida. Moodnya yang tadi baik baik saja mendadak hancur karena sebuah boneka.

^^^

TBC

Terimakasih yang sudah membaca.
Jangan lupa vote dan komennya ya.
-❤yy

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

tacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang