"Untuk ukuran anak remaja kepala satu, mimpinya ketinggian," kata orang-orang sekitar yang memandang pemuda yang duduk di bangku itu. Mata pemuda itu nampak tak fokus pada apa yang ditatapnya. Pikirannya melayang, mencoba-coba menelisik masa depan. Ingin sekali ia mengetahui jadi apa nantinya ia di masa depan. Orang besar yang berada di balik meja, memandangi kertas berisi kebijakan yang menyangkut nasib perut banyak orang. Ataukah jadi orang biasa, yang hidupnya tiap hari hanya memikirkan isi perutnya sendiri.
Megalomaniak, beberapa orang menyebutkan. Narsisistik, yang lain menimpali. Over confident, kata seorang di ujung ruangan. Seiring berjalan umurnya, seruan-seruan itu semakin lirih. Dia jadi bertanya, kenapa ?
Apakah ambisinya tidak besar lagi?
Apakah usahanya kurang keras?
Ataukah hanya semangatnya yang memudar ?Ia bertanya, dalam lamunannya. Apa yang salah ?
Apakah hanya perasaannya, ataukah karena jenuhnya rutinitas hidupnya?
Dalam batinnya, ia ingin menjadi orang besar, karena karyanya, karena prestasinya. Namun ia lupa, bahwa hal-hal besar selalu bermula dari hal kecil. Ia lupa, bahwa yang ia lakukan adalah awal dari semuanya.
Pondasi rumah selalu luas, banyak yang harus dilakukan saat membangun pondasi, supaya kokoh, supaya tak mudah roboh. Makin lama, makin keatas, akan semakin runcing, akan lebih mudah dilakukan, tapi lebih sulit dipertahankan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alegori
Romansa"Aku merindukanmu. Tapi apa benar aku punya sedikit saja kesempatan ? Untuk merindu pun, kurasa tidak." Karena mengingatmu berarti membuka luka lama. Namun melupakanmu, berarti menghapus separuh alasanku untuk bahagia. Dulu, kita pernah seiya sekata...