7. Bertemu lagi

59 4 0
                                    

[Jakarta]

Terjadi keributan dan juga dua pemimpin bangsa hilang entah kemana, mereka tidak menghadiri rapat PPKI yang sudah direncanakan sebelumnya. Di kediaman masing-masing juga tidak ditemui, Ahmad Soebardjo dan beberapa anggota PPKI lainnya pun yakin bahwa ini ada hubungannya dengan perdebatan Soekarno-Hatta dan para pemuda. Maka itu ia langsung mencari Wikana untuk mencari tahu dan di hari itu pula ia mendapat konfirmasi mengenai desas-desus menyerahnya Jepang pada sekutu, kabar itu ia dapatkan dari Laksamana Maeda Tadashi.

Dan datanglah Wikana, ia memberitahu keberadaan Soekarno dan Mohammad Hatta, kemudian Ahmad Soebardjo memberi tahu kalau Jepang sudah resmi menyerah.

Mereka pun bergegas untuk menjemput Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok.

∆∆∆∆

"Bung," panggil Ahmad Soebardjo pada Soekarno dan Hatta.

"Situasi di Jakarta baik-baik saja dan Jepang sudah meminta damai kepada sekutu," lanjutnya.

"Apa benar?" tanya Hatta. Ahmad Soebardjo mengangguk, "ya, Bung. Saya mendengar kabar tersebut dari Laksamana Maeda," katanya.

Soekarno pun marah dan juga kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat.

Dan mereka menganggap perbuatannya ini sebagai tindakan patriotik.

"Bagaimana, Bung?" tanya Ahmad Soebardjo.

"Kita semua sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan esok hari," jawab Soekarno.

"Namun dimanakah kita akan menyusun naskah proklamasi?" tanya Hatta.

Mereka pun berdiskusi dan akhirnya memutuskan untuk melakukan perumusan di kediaman Laksamana Maeda.


"Baiklah," balas Soekarno.

Mereka semua pun kembali ke Jakarta, Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo mengunjungi rumah Jendela Yamamoto, seorang komandan Jepang di Jawa. Dan dari pertemuan tersebut, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu dan tidak lagi memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Mereka langsung pergi menuju kediaman Laksamana Maeda di Jakarta. Laksamana Maeda bukanlah tokoh Jepang yang pro pada tempat asalnya, ia pun punya firasat jika dirinya akan dijadikan kambing hitam oleh Jepang karena suatu masalah, dan juga ia memiliki kedekatan dengan beberapa tokoh tanah air, contohnya Ahmad Soebardjo.

Karena dua hal itu, ia pun setuju rumah dinasnya dijadikan tempat perumusan naskah proklamasi. Karena ia merupakan pihak Jepang, jadi Jepang tidak akan mencurigai tempat ini sebagai tempat para tokoh Indonesia berkumpul untuk merumuskan naskah proklamasi.

Beberapa golongan muda dan pasukan PETA berjaga di sekeliling rumah Laksamana Maeda, takut-takut jika ada 'penganggu' saat proses perumusan naskah proklamasi.

Hadi, Ali dan Armudi pun ikut andil, kini mereka tengah berjaga di bagian samping rumah Laksamana Maeda dengan beberapa pemuda lain. Sebenarnya rasa lelah sudah lama dirasakan mereka bertiga, mungkin sama halnya dengan para pemuda lain yang dari awal mengikuti rapat dan sampai akhirnya bisa berada di sini. Namun rasa lelah tak mereka hiraukan, keadaan perut yang sudah kosong juga tidak mengurangi sedikitpun semangat mereka untuk melaksanakan tugas ini sampai tuntas.

Berjaga dengan kondisi tubuh yang lelah dan perut kosong, sungguh tidaklah mudah. Kadang kali mata mereka terpejam beberapa kali namun dengan cepat mereka menyadarkan diri dan kembali memasang mata lebar-lebar melihat ke sekeliling.

Hadi pun sudah berkali-kali menguap, matanya kini berair karena menahan rasa kantuk tersebut. Saat sadar, Hadi langsung menepuk keras pipinya guna mengembalikan kesadarannya yang perlahan mulai hilang.

"Ngatuk, Di!" keluh Armudi yang baru balik dari alam mimpi yang hanya sesaat.

"Iya, tahan aja. Sebentar lagi..." balas Hadi menyemangati.

Tiba-tiba muncul seorang perempuan dari dalam arah depan rumah lalu berhenti di depan mereka.

"Permisi," ucapnya pelan.

"Di dalam perlu kertas dan pena, barangkali dari kalian ada yang punya?" tanyanya dengan ramah.

Ali melempar pandangan pada Hadi, setahunya Hadi sempat mengantongi sisa kertas rapat kemarin, tapi Hadi malah diam seolah tak merasa bahwa ia membawa kedua benda tersebut.

"Di!" seru Ali sambil menyenggol lengan Hadi, dan barulah Hadi mengeluarkan suaranya.

Hadi mengerjapkan matanya berkali-kali, "ke-kena-kenapa?"

"Kertas sama pena. Dikantongmu, Di!" seru Ali.

"O-oh, iya." Hadi langsung merogoh saku kanannya dan mengeluarkan beberapa lipatan kertas yang sudah sedikit kusut. Setelah mengeluarkannya, Hadi malah kembali diam, kertas tersebut hanya dipegangnya bukan diserahkan pada perempuan di depannya.

Ali yang menyadarinya langsung merampas kertas tersebut dan memberikannya pada perempuan itu sambil tersenyum.

"Terima kasih," balasnya dengan ramah dan penuh senyum lalu pergi menjauh.

Ali dan Armudi kembali melirik Hadi, ternyata kawannya masih saja terdiam dan pandangannya tak luput dari perempuan tersebut, bahkan sampai perempuan itu menghilang Hadi masih melihat tempat terakhir penampakannya.

"Hus!"

"Bengong aja!" serunya sambil menepuk pundak Hadi.

"Kamu kenapa, Di? Kayaknya baru ngeliat perempuan cantik aja..." seru Armudi.

Hadi menoleh, "perempuan yang tadi, itu perempuan yang saya taksir, Ar!"

"Oh, iya ... betul, Di. Wajahnya mirip," balas Armudi.

"Tapi kenapa dia ada di sini, ya?" tanya Hadi kebingungan.

"Mungkin dia kerja di sini, Di," ujar Ali.

"Bisa juga," timpal Ali.

"Yasudah, fokus jaga dulu, Di. Kesampingkan dulu perempuan itu, jangan dibayangkan terus," ujar Armudi dengan maksud agar Hadi berhenti memikirkan perempuan itu dan kembali fokus pada tugasnya yang penting.

Hadi pun menghela napas dan kembali menyerahkan semua fokusnya pada tugas jaganya.

∆∆∆∆

Ini Cerita Kita [KELAR ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang