Anak Panti

75 31 15
                                    

Setelah kejadian yang menguras emosi dan air mata tadi. Kini Almeta duduk di tengah anak-anak yang mengelilinginya berbentuk lingkaran. Mereka bernyanyi dan tertawa bersama. Almeta tidak salah mencari tempat untuk menenangkan diri. Di sini, Almeta sejenak melupakan masalahnya.

Almeta tersenyum miris melihat tawa anak-anak itu. Almeta iri, sungguh. Ingin rasanya ia tertawa seperti mereka. Tertawa tanpa beban. Tertawa atas dasar kebahagiaan, bukan keterpaksaan.

Tapi Almeta juga sadar bahwa mereka jauh lebih menderita dari kehidupannya. Mereka tidak pernah bertemu dengan kedua orang tua mereka. Ada yang di buang dan berakhir di panti asuhan ini. Ada yang sengaja dititipkan dan tidak pernah kembali untuk menjenguk. Ada pula anak-anak jalanan yang yatim piatu.

Almeta banyak belajar dari kehidupan mereka. Ia tidak boleh egois. Ia tidak boleh berfikir bahwa disini dirinyalah yang paling menderita. Melihat senyum dan tawa tulus anak-anak itu adalah semangat hidup tersendiri bagi Almeta.

"Kak Meta!" panggil salah satu anak perempuan yang berada di belakangnya. Almeta menoleh ke belakang sambil tersenyum.

"Iya?" tanya Almeta. Gadis kecil dengan rambut di kepang dua itu melepas pegangan tangan dengan temannya lalu melangkah mendekati Almeta.

"Kak Meta jangan sedih ya, di sini ada Cici yang akan selalu membuat kak Meta bahagia," ujar gadis kecil itu. Almeta tersenyum haru mendengar perkataan Cici.

"Iya kak, kita semua sayang sama kak Meta," sahut salah satu anak laki-laki.

"Kalian sok tau deh. Kakak gak sedih tuh," elak Almeta dengan gaya sombongnya.

"Kakak gak usah bohong. Itu mata kakak kayak habis nangis," celetuk anak perempuan yang lain.

"Kakak pasti lagi ada masalah, ya?" tanya Cici sambil menunjuk Almeta dengan kedua jari telunjuknya. Cici menatap Almeta penuh selidik. Almeta yang melihat itu pun gemas. Ia menarik tubuh mungil Cici ke pangkuannya.

"Kalian sini deh!" titah Almeta sambil menepuk tanah di sampingnya. Semua anak-anak yang awalnya berdiri sambil bergandengan tangan kini duduk bersila di depan dan di samping Almeta.

"Kalian itu masih kecil, mana ngerti soal masalah orang dewasa," tutur Almeta sambil mencolek hidung salah satu anak perempuan yang duduk di sebelahnya.

"Tapi, Kak, kalau Kakak gak punya masalah, terus kenapa kakak nangis?" tanya Cici yang masih berada di pangkuan Almeta.

"Kata siapa Kakak nangis? Mata kakak tadi kena debu karena kakak lupa gak pakai helm," jelas Almeta. Anak-anak itu percaya dengan alibi Almeta. Mereka mengangguk polos.

"Tapi kalau kakak gak pakai helm, kenapa kakak bisa kesini? 'Kan harusnya kena tilang," celetuk salah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar sembilan tahun.

"Kamu kayak gak tahu Kak Meta aja," suara Bu Narti terdengar dari belakang Almeta. Almeta menoleh ke belakang dan mendapati Bu Narti menggendong seorang balita laki-laki.

"Eh, Ibu," Almeta menyalimi tangan Bu Narti yang kini tengah duduk di samping Almeta sambil memangku seorang balita yang berusia sekitar dua tahun itu.

"Akak Ata!" panggil seorang balita yang berada di pangkuan Bu Narti sambil bertepuk tangan semangat.

"Halo Aldo!" sapa Almeta sambil mencubit kedua pipi Aldo.

"Aydo angen," ujar balita tersebut dengan gaya bicara cadelnya.

"Ciye ... Aldo kangen kakak nih, ye," Almeta menatap wajah imut Aldo sendu. Ia sedih jika mengingat anak sekecil ini harus berpisah dengan kedua orang tuanya.

Almeta mengalihkan atensinya ke arah Bu Narti. Ia tersenyum tulus kepada pengurus panti asuhan itu.

"Gimana, Bu?" tanya Almeta sesekali menatap ke arah Aldo. Bu Narti mengerti dengan arah tujuan pembicaraan Almeta. Ia menatap Almeta sambil menggelengkan kepalanya.

Almeta AnnoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang