AA

1.8K 68 6
                                    

.

~ Late Majapahit era ~

Jika biasanya pria kecil dalam balutan wdihan khas keturunan bangsawan itu menghabiskan ketenangan malam di dekat kolam ikan kecil bersama para pengawal. Maka sekarang berbeda kala tangan itu memeluk dengan takut sebuah lukisan besar, sang Kakek berkata untuk terus bersembunyi sampai pemberontak dapat dikalahkan. Namun Ia tahu itu hanya sebuah bualan, bahkan melalui celah konstruksi kayu tempat ruangan sembunyi nya saja Ia melihat kemenangan dari pihak pemberontak. Cukup membuat tangan kecil itu makin bergetar hebat diatas kaki yang tak lagi kuat menyangga beban tubuhnya, bahkan lukisan besar ini saja sudah cukup menguras energi abriseka -nama pria kecil dengan keindahan caramel sebagai turunan dari sang Ibu-

"Raden..." Biasanya husky voice itu menjadi teman bermain di dekat kolam ikan, bersama menghitung jumlah ikan peliharaan sang Kakek yang makin bertambah setiap hari. Hasil dari kerja kerasnya dan para 'pengawal' tiap malam datang.

"Kau juga akan menyakitiku, Dewindaru?" Suara Abriseka bergetar.

Sosok lain datang, menemukan pria sipit dengan raven panjang hampir menyentuh tulang ekornya bersama sang Raden muda yang masih mendekam di pojok ruangan, terlalu kekeuh untuk mempertahankan lukisan yang sudah sang Kakek titipkan, "Raden, aku dan Windaru tak akan melakukan hal buruk. Hanya serahkan lukisan itu pada kami, Raden" Pinta pria dengan tinggi lebih rendah dibanding Dewindaru.

"Tidak, aku tak akan menyerahkannya~!" Sudah menjadi darah dalam keluarga untuk menjaga apa yang sudah dititipkan oleh para tetua, dan Abriseka hanya menjaga barang peninggalan Kakeknya-Ia tak yakin apakah nyawa Kakek nya telah melayang, namun melihat kobaran api di luar, tentu saja Seka tak bisa berharap banyak atas keselamatan sang Kakek-

"Raden, kumohon...." Windaru memohon, kaki panjang itu tertekuk, saling bersentuhan dengan tanah tempat Briseka berpijak. Sungguh tipikal pengawal yang tak akan pernah bisa menyakiti Tuan nya.

"Ambil nyawaku jika kalian menginginkan lukisan ini~!" Briseka tak pernah berteriak, termasuk dalam kandidat Tuan Muda ramah dengan kecerdasan yang cukup mumpuni. Hanya kali ini berbeda, Ia merasa tertekan dan ketakutan datang disaat tak ada siapapun disisinya sekarang, bahkan para pengawal sekaligus temannya telah berubah menjadi pemberontak.

Pria disamping Windaru ikut berlutut bersama si pemilik surai panjang, bagaimanapun Briseka sudah bersama mereka semenjak pria kecil itu pertama kali melihat dunia, "Raden, tolong jangan membuat kesalahan fatal seperti pendahulumu."

"Seberapapun kalian memohon, lukisan ini hanya akan sampai pada tanganmu setelah aku mati~! Jadi bunuh aku Win, Wat! Bunuh aku sekarang jika kalian menginginkannya~!"

Mereka terjebak dalam dilema begitu dalam. Darah begitu mudah mengalir disaat para keturunan serakah menjadi korban, tapi bagaimana bisa tangan-tangan dingin itu menyakiti sosok rapuh yang sudah keduanya rawat dari kecil. Bahkan melihat tuan mudanya lelah karena ujian saja sudah menyakiti perasaan dua jiwa yang seharusnya tak memilikinya.

"Raden, kenapa anda sangat keras kepala?" Windaru bersuara, menengadahkan kepala untuk melihat raut ketakutan Briseka di depan sana.

"Aku tahu kau bisa membunuhku dengan mudah Windaru."

"Kenapa Raden begitu ingin meninggalkan dunia ini?" Dari semua keturunan para penguasa, hanya Briseka yang menjadi harapannya. Sosok kecil dengan pemikiran luas dan wajah mempesona, bahkan jika usia Windaru terlampau jauh lebih tua, diam-diam Ia menyimpan rasa, menjadi alasan kenapa tangan berjari lentik itu tak bisa menyakiti Tuannya.

"Karena aku tak ingin melihatmu mati! Aku tak akan rela kalian semua meninggalkanku~! Tidak akan~! Jadi, bunuh aku Win! Bunuh aku!" Teriakannya hingga ke ujung tenggorokan, rahasia tak lagi menjadi sebuah rahasia kala Ia berusia matang untuk belajar menjadi penerus keluarga. Hanya 2 pengawalnya tak lagi tahu bahwa Tuan muda mereka telah beranjak dewasa.

Butterfly ( COMPLETED )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang