Prolog

164 22 3
                                    

Attention❗❗❗

Cerita ini hasil mikir sendiri kalau pun ada kesamaan nama tokoh, latar, dan kejadian adalah faktor ketidak sengajaan.
Dilarang keras mencopy paste ❗

Welcome guys, happy reading and enjoy it!
Thank's
*
*
*
*
(Agatha)

Suasana tegang menyelimuti. Serasa ada kilatan cahaya yang datang menghipnotis setiap jiwa. Semua orang yang berada dalam ruangan itu mendadak beku dan menjadi bisu.

Setiap mata menatap pada satu objek yang sama. Dua orang yang duduk di kursi terdepan saling menatap sinis penuh kebencian. Dengan harapan besar seorang wanita yang memakai setelan berwarna hitam melafalkan do'a dalam hatinya.

Sementara seorang laki-laki di sebelahnya menyunggingkan senyum lalu, melempar pandangan ke arah lain. Mereka sama-sama memiliki harapan yang sama. Nampak santai, laki-laki itu mengusap dagunya dengan tangan kanannya. Ia menoleh menatap seorang gadis kecil yang tengah duduk di pangkuan wanita senja yang sejak tadi terlihat sibuk menenangkan gadis kecil itu yang menangis tak mau berhenti.

Begitupula wanita itu. Ia tak lelah menoleh pada gadis kecil yang duduk persis di belakangnya. Linangan air mata terlihat memenuhi kelopak matanya yang sudah menghitam. Ingin rasanya ia berlari. Meninggalkan kursi panas yang ia duduki. Namun, apa daya dirinya yang tak bisa melakukan itu. Dengan sangat terpaksa ia tetap tinggal.

Menunggu adalah hal yang sangat membosankan. Istilah yang hampir setiap hari berlalu lalang di telinga manusia. Itu yang sedang semua orang lakukan di ruangan itu. Menunggu. Iya, mereka menunggu keputusan. Keputusan Hakim yang duduk dengan gagah di balik meja panjang yang menjadi penghalang.

Wanita yang duduk lesu itu seketika menegak. Tangannya yang semula menutupi wajahnya ia turunkan dengan cepat. Suara berat milik Hakim menusuk-nusuk telinganya. Ia menggigil takut jika saja hasilnya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

“Dengan ini, saya putuskan. Saudari Sinta Aurora selaku penggugat, dan saudara Brahma Lubis dinyatakan resmi bercerai.” Hakim ketua menjeda sejenak kata-katanya. “Dan hak asuh atas Agatha Veronica Lubis jatuh ke tangan saudari Sinta Aurora.” Suara ketukan palu menggema ke seluruh sudut ruang.

Wanita yang sejak tadi berkeringat dingin itu kini merasa puas. Senyuman lebar terlihat di bibir yang terbalut lipstik merah. Ia menurunkan tubuhnya bersujud mencium lantai putih ruang persidangan. Tak henti ia berterimakasih pada Tuhan. Karena telah mengabulkan do'a-do'a yang ia panjatkan selama proses perceraiannya.

Semua bersorak gembira. Namun, beda halnya dengan kubu di sebelahnya. Wajah Brahma memerah. Terlihat sekali jika ia sedang menahan amarah. Tangan kekarnya mengepal. Ia bahagia berpisah dengan istri sialannya itu. Namun, ia sangat tidak ingin kehilangan Agatha anak kesayangannya. Ia yakin setelah bercerai nanti, Sinta tidak akan mengizinkan ia bertemu dengan anaknya.

Setelah berterimakasih pada Hakim, Jaksa, Pengacara dan semua yang membantunya berhasil memenangkan kasus ini, Sinta memeluk gadis kecil berbando merah di belakangnya.

“Sayang,” ucapnya seraya mencium ubun-ubun Agatha.

“Mama kenapa nangis?” Gadis kecil berumur lima tahun itu, dengan polosnya bertanya penyebab keluarnya air mata sang ibu.

Sinta menggeleng cepat. Tangannya mengusap pipi Agatha. Sementara dari kejauhan, Brahma menatap kejadian itu. Tak terasa air mata juga turun membanjiri pipinya. Laki-laki keras itu ternyata juga bisa menangis. Dengan berat hati ia segera meninggalkan ruangan persidangan. Tanpa mengucapkan selamat tinggal pada gadis kecil yang tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya.

#Authornote

Hallo terima kasih sudah mampir di ceritaku semoga betah, ya. Nantikan update selanjutnya

Salam,

Fadhilot

AGATHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang