6. Diary

92 15 0
                                    

Selamat membaca

*
*
*
*

(Part 6 : Diary)

“Tha, udah belom?” Suara Oca yang lebih mengarah seperti desakan itu terdengar sangat mengganggu. Agatha yang sedang merapikan barang-barang di lokernya mulai jengah.

“Bentar, Ca,” ujar Agatha meminta kelonggaran waktu.

“Lama amet, sih,” kesal Oca. Ia memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Tha, entar kita telat.”

Akhirnya Agatha memilih menutup loker nomor dua puluh satu miliknya dan segera berjalan menyusul Oca yang sudah berlalu lebih dulu. Sementara dari balik dinding, sebuah mata tajam sedang manatap menjurus.

Setelah pemiliknya pergi, loker nomor dua puluh satu itu menjadi incaran laki-laki yang sejak tadi memerhatikan dari balik dinding. Seringainya mulai tampak, kala mendapati loker itu ternyata lupa dikunci oleh pemiliknya.

Tangan nakal itu lincah mengobrak-ngabrik isi di dalam loker tersebut. “Agatha Veronica Lubis. Akhirnya gue tau nama lo,” gumamnya bangga. Karena, telah menemukan apa yang ia cari.

Baru saja ia ingin menutup loker itu, tetapi matanya tak sengaja menemukan sebuah buku bersampul foto gadis cantik. Ia tahu, itu pasti sebuah buku diary.

•••

Di tengah lapangan dengan panas yang teramat sangat. Agatha berlari kecil mengejar bola yang kini berada di bawah kekuasan Indah. Indah terus menggiring bola itu hingga mendekati gawang. Baru saja ia ingin menendangnya, tiba-tiba Oca datang merebut bola itu.

“Oca, awas lo!” umpat Indah kesal.

“Tha, terima,” teriak Oca dari kejauhan.

Mendapat tendangan yang cukup keras dari Oca membuat Agatha terkejut. Ia sedikit memundurkan langkah ke belakang. Hingga akhirnya bola itu berhasil direbut oleh pihak lawan.

“Ah, lo gimana, sih, Tha!” ucap Oca menyalahkan Agatha.

Agatha menggigit bibir bawahnya dan berkata, “sorry, gue gak siap.”

Maru, Arion, dan Edo yang menyaksikan dari balkon lantai dua, tertawa ringan. Bagi mereka, menyaksikan para wanita memainkan bola itu merupakan kejadian lucu. Bagaimana tidak, pasti ada saja adegan teriak, melindungi dada, dan aksi saling dorong.

“Lumayan, kan bisa liat tobrut gratisan.” Arion berujar sembari tertawa.

Maru menggulung buku yang dipegangnya lalu dipukulkan ke kepala Arion yang duduk persis di sebelahnya. “Otak lo mesum. Tobat, weh!”

“Halah, tobat-tobat. Bilang aja lo juga suka tobrut, kan.” Arion tertawa kencang bahkan kini suaranya meggema di seluruh koridor lantai dua.

Edo yang menikmati es teh dari plastik itu bingung. “Tobrut apaan?”

“Udah, udah. Lo gak usah tau. Cukup gue sama Maru aja yang boleh tau. Ya, gak, Mar.” Mata Arion mengedip genit ke arah Maru.

Tak mempedulikan itu, mata Maru terus menatap gadis yang selalu menguncir rambutnya. Agatha. Kini, Maru sudah tahu nama gadis itu. Pandangan yang tadinya tenang, kini berubah nyalang. Entah mengapa ia tak suka melihat Zaka memberikan sebotol air mineral pada Agatha.

"Caper, anjing!" ucapnya tiba-tiba.

Menyadari itu kedua sahabatnya menatap ke arah Maru. "Cemburu lo?" ledek Arion diiringi tawa geli.

AGATHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang