4. Jangan Menghindar

89 16 5
                                    

Selamat membaca

*
*
*
*

(Part 4 : Jangan menghindar)

Suara gesekan sendok dan piring terdengar berisik. Di suatu meja makan berdesain kuno, terdapat dua orang yang saling berhadapan. Sarapan. Mereka berlomba memasukkan suap demi suap nasi goreng yang tersaji di hadapannya.

Sesekali salah seorang di antara keduanya, berhenti untuk mengurangi rasa pedas yang mulai menguasai tenggorakan.

Seorang gadis mendekatkan gelas bening yang berisi air putih pada bibirnya lalu ia meletakkan gelas bening tersebut dan beralih pada gelas yang berisi cairan putih yang di atasnya terlihat menguap asap semu. Dengan pelan gadis itu meminum sedikit dari susu hangat yang dibuatkan khusus untuk dirinya.

Kakinya tak bisa diam. Bergerak menggesek kakinya yang lain. Hingga pergerakannya menyebabkan kekuatan di tangannya terganggu.Susu putih itu meninggalkan tempatnya dan beralih membanjiri meja tepat di bawah gadis itu. Beruntung tidak mengenai seragam putih yang dikenakannya.

“Agatha, hati-hati dong!” peringat Sinta. Ia terlihat panik dan menghampiri Agatha cepat. “Kena seragam kamu? Biar mama panggilin Bi Asih, ya.”

“Ja-jangan Ma, orang gak kena, kok. Ya udah Agatha berangkat,” pamit Agatha setelah tangannya berhasil meraih tas putihnya.

Sinta terkesiap kala Agatha pergi begitu saja. “Tha, sayang, gak mau ganti?”

Agatha sudah tak mendengar teriakan ibunya. Kini ia sudah duduk manis di dalam mobil. Ia menggigit kukunya. Jujur, ia sangat risih diperlakukan seperti itu. Ia ingin hidup normal seperti orang lain bukan mendapat perhatian berlebihan seperti kejadian tadi di meja makan contohnya.

Baginya tak apa hidup hanya berdua dengan ibunya. Perceraian orang tua biasanya akan sangat mengganggu mental seorang anak. Kehilangan kasih sayang dari ayahnya, lantas tak membuat Agatha mengutuk ibunya karena gagal mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Agatha merasa kehilangan? Pasti. Bukankan itu yang dirasakan oleh semua anak korban broken home? Agatha sudah terbiasa dengan semua itu. Yang Agatha sesali, mengapa Sinta selalu memperlakukannya seperti anak kecil. Bukankah usianya sudah memasuki usia remaja? Di mana usia tersebut adalah masa paling menyenangkan dan tak akan terulang untuk kedua kalinya.

Agatha juga butuh waktu untuk sendiri. Menyekat segala hal yang selalu ingin tahu tentang dirinya. Ia juga ingin pergi dengan teman seusianya jalan ke Mall, keluar saat malam minggu, atau jogging di minggu pagi. Namun, Sinta terlalu over protektif padanya. Sinta tak bisa sedetik pun tanpa kabar Agatha. Bagi Sinta Agatha adalah mutiaranya yang harus ia lindungi.

Seketika Agatha terpikirkan suatu hal. “Pak Dodi,” panggilnya pada supirnya yang sedang fokus mengemudi.

Seorang pria baya yang dipanggil Pak Dodi itu menaikkan pandangannya pada kaca spion tengah agar bisa menatap Agatha. “Iya, Non.”

“Entar Pak Dodi gak usah jemput Agatha, ya. Agatha mau belajar bareng temen,” jelas Agatha.

Sejenak Dodi berpikir. Kejadian tahun lalu tak akan pernah bisa ia lupakan. Ia hampir kehilangan pekerjaannya karena membiarkan Agatha pergi dengan teman-temannya.

Seakan paham apa yang terlintas dalam benak pria itu, Agatha melanjutkan kembali perkataanya. “Pak Dodi gak usah khawatir. Entar bilang ajah Agatha yang maksa.”

AGATHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang