-08-

11 9 3
                                    

Adriyanto Pov

Aku menggulung kemeja lengan berwarna abu-abu tua ini. Rasanya terlalu muda untuk kembali bernegosiasi. Di luar banyak sekali para petarung yang ingin menjadikan aku sebagai tuan nya.

Resiko menjadi founder terbesar di Kota besar ini, membuat aku harus tetap survive melihat perkembangan perusahaan semakin besar. Di luar perkiraan ku, keuntungan ini semakin mengalir. Kesempatan tidak boleh disia-sia kan begitu saja. Reno harus belajar dari ini.

Otak licik dan haus akan materi, jabatan, segala nya dianggap sah-sah saja, mereka tidak bisa dituduh atas dasar penipuan. Semua nya terencana dengan baik, dalam keadaan tidak sadar mereka masuk ke dalam perangkap. Secara sadar, mereka menyetujui nya.

Saham keluarga ku sedang baik, Reno kuminta untuk mulai belajar di kantor sepulang sekolah. "Reno masih sibuk tugas, Yahh." Eluh nya lesu.

"Ayah ingin kamu cepat belajar, bukan hanya terus membaca buku. Pengalaman juga harus di latih, Reno!" jawab ku dengan menggulung koran yang ku baca sore tadi. Sial! Aku jadi kesal melihatnya.

Memang ia terlihat tidak tertarik untuk setiap ajakan ku, lebih baik ku paksa aja kali ini, "Kamu cepat lah bersiap, kita akan dinner di kediaman keluarga Pak Shavin."

"Pak Shavin Dinata, itu?"

"Iya, segera! Ayah akan tunggu di bawah!" Ku harap dia mengerti apa yang sedang terjadi pada masa depan nya ini.

Sebenarnya tidak banyak yang akan kami lakukan, membahas seputar sejauh mana kami menjadi partner, mengevaluasi sedikit peningkatan produksi dan penjualan,  pangsa pasar yang kami tuju.

"Tapi yang lebih utama, jangan sampai karyawan kita mengalami stress atas pekerjaan mereka." ujar Shavin dengan ciri khas tertawa nya itu. Aku tau dia tengah menyindir ku karena tekanan pekerjaan semakin meningkat.

Aku menghela napas pelan, "Tentu saja tidak, Pak. Karyawan kita sudah cukup mendapat apa yang menjadi hak mereka. Semua kita perhatikan."

"Luar biasa. Memang, saya lihat mereka enjoy dalam bekerja." tambahnya.

Ku pandang Reno yang sangat lesu, tidak pernah ingin bertatap pandang dengan keluarga itu. Arah mata nya selalu kemana-kemana, "Kau kenapa, Reno? Apa kau sakit?"

Reno langsung menoleh ke arah ku, ku yakin pesan tatapan ku padanya sampai. Ku perhatikan dia langsung berubah, aku lega.

"Aku baik-baik saja, Ayah" Lalu melihat ke arah kami semua, "Boleh kah aku keluar sebentar?" tanya nya sembari hendak berdiri.

"Tentu saja, ajak lah Winda. Kalian pasti butuh udara segar, ya?" Tanya Shela, Ibu Winda.

Hanya kami berempat kini, waktu yang tepat untuk membicarakan hal yang lain. "Saya ingin membahas sesuatu, ini tentang obrolan sesama orang tua. Kalian paham 'kan, maksud Saya?" tanya ku membuka obrolan.

"A-ahh tentu saja, Pak Adri. Silahkan." Jawaban nya gelagapan, apakah dia terkejut?

"Saya langsung saja ke point nya, ya. Saya berpikir, bahwa anak semata wayang kami dapat menjadi menantu di keluarga kalian, Pak Shavin."

Shela mengambil segelas air yang ada di depan nya, ia terlihat bimbang, namun kulihat istriku tetap tenang seperti biasanya. "Ny. Karin juga menyetujui nya?" tanya nya tidak percaya.

Istriku mengangguk mantap, ohh dia memang sangat anggun, "Tentu saja, Ny. Shela. Mengapa tidak? Bukankah bagus kita bisa menjadi besan? Toh, mereka sangat cocok."

Jawaban nya seperti menohok memang, memaksa tetapi tidak seperti memaksa, aku menyukai ini.

Ku yakin Karin telah belajar banyak tentang hal-hal seperti ini, dia memang cocok menjadi sekretaris pribadi ku saja.

Kemungkinan yang terjadi jika keluarga kami dapat bersatu, akan menjadi aliansi yang baik untuk menjadi perusahaan bonafit yang lebih membanggakan.

"Tapi tetap saja kami harus menanyakan ini pada Winda, Pak" jawab Shavin pasrah.

"Benar, Pak. Apalagi, Winda pernah berkata pada Saya, dia sangat tidak setuju jika dijodohkan. Tapi saya yakin dia setuju, apalagi dia adalah Reno—teman sekelasnya." jelas Shela dengan bijak. Dia mencoba menenangkan diri. Berulang-ulang menatap suami nya dan kami secara bergantian.

Karin tertawa senang, dia mengukir senyum tanda kepuasan, "Iya, itu benar. Saya juga berharap begitu."

Kami akhirnya memutuskan untuk berpamitan saat Reno dan Winda kembali, wajah mereka terlihat biasa aja.

Di perjalanan pulang, Reno hanya diam tidak mengatakan apapun. "Kau tadi berbicara apa dengan Winda?" tanya ku.

"Tidak ada hal yang penting, Yah."

"Masa?"

"Sebaiknya Ayah mengganti mobil Sedan hitam ini, aku bosan melihatnya."

Aku mengernyit heran, "Iya, juga, ya? Kau juga merasa begitu, Sayang?"

"Tapi aku masih menyukai nya, Sayang. Biarkan mobil Reno saja yang diganti."

Aku terkejut Reno memajukan diri nya di antara kami berdua, "Hei! Pakai sabuk mu, Reno!"

"Aku masih menyukai mobil ku, Ayah! Jangan dengarkan Bunda!"

Ku lihat di spion wajah nya dipalingkan ke luar, dasar anak itu.

Sejak kecil dia selalu manja dan ingin dibelikan ini dan itu, kami menyayangi nya. Anak laki-laki pertama sudah cukup bagi kami. Itu adalah anugrah yang terbaik kami dapat. Apapun akan kami lakukan untuk masa depan nya.

Dia memang terlihat kesepian, tapi dia tahu caranya mendapatkan teman. Itu berarti aku tidak khawatir jika ia akan mendapatkan partner atau client di kemudian hari.

Ku harap, kau tidak akan mengecewakan ku, Nak.

-----

Gimana guys? Sorry, ya cuma segini esmosi-esmosi nya hahaha.
Jangan lupa tap star dan comment nya:*


Luv❤
Chamodark

I Don't Think SoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang