"Les?""Iya, Bun ... di tempat Isa ngelayanin catering itu bagus kok. Isa sempet coba tanya dan responnya bagus, malah mereka bilang mau kasih kompensasi biaya les kalo semisal Ara mau masuk ke sana."
Ara mendengar pembicaraan itu dari kamar. Di telinganya memang terpasang earphone kanan - kiri yang sedang menyuarakan Happen Ending milik Epik High, tapi kepekaan pada percakapan apa pun yang menyebut namanya membuat Ara membebaskan pendengaran untuk sementara dari lagu favoritnya itu.
"Tapi di tempat Ara les sekarang kan bagus juga, Sa?" ujar Bunda.
"Iya, Bun. Tapi dilihat - lihat kayaknya nilai ujian Ara nggak ada kemajuan loh. Dan ini udah mau UNAS. Isa sih nggak targetin Ara dapet nilai rata - rata 8, tapi paling enggak nilai Matematika dia nggak di bawah standar aja, Bun. Kan nggak lucu aja kalo Ara nggak lulus UNAS cuma gara - gara nilai Matematika dia di bawah standar."
Anjay! Ara mengumpat dalam hati, menajamkan telinga demi menyimak percakapan antara bunda dan kakak perempuannya itu dengan lebih jelas.
"Kalo yang Isa lihat, di tempat les yang Isa omongin ini, tutornya telaten dan kompeten gitu loh, Bun. Makanya mending Ara masuk ke sana aja 'kan, sebelum mepet waktu UNAS, jadi masih lumayan lah buat ngejar materi yang dia nggak paham," lanjut Danisa, meyakinkan sang ibunda. "Daripada mesti ngejar paket gara - gara nggak lulus satu mata pelajaran, ya kan, Bun?"
Emang lidah tukang dagang tuh nggak ada duanya ya. Sampe nggak bisa bedain mana ngebujuk, mana nakut - nakutin, mana yang ngancem, Ara membatin.
Bunda tidak langsung menjawab. Tapi kemudian beliau berkata, "Ya udah, kamu bilang sendiri ya ke Ara."
Wait. Ara menelan ludahnya cepat. Jadi gue mesti pindah tempat les? Mager banget, man!!!
Ide itu mengganjal di benaknya. Iya, Ara mengerti dia memang terbilang sangat payah dalam pelajaran Matematika atau apa saja yang melibatkan angka. Dia cukup cemerlang dalam pelajaran lain, terlebih seni, tapi otaknya akan seketika membeku saat menghadapi soal berhitung beserta rumus - rumusnya. Kecuali menghitung uang. Ara cukup cermat saat, misalnya, menghitung berapa uang saku yang harus dia simpan agar bisa membeli buku atau album K-pop dalam 2 bulan. Tapi selain itu, Math is hell and that's all. We created to hate each other, so yeah ....
Mengingat hasil rapor dari semester ganjil di kelas 10 saja tiba - tiba membuat kepalanya berdenyut kaku. Melangkah sedikit pada rekor sebelumnya di belakang, dia bahkan bisa lulus dari SMP dengan nilai Matematika pas - pasan. Horor yang kemudian menyergap adalah bayangan nilai merah dan label "Tidak Lulus" pada pengumuman kelulusan sekolah nanti.
There's no way gue nggak lulus cuma gara - gara Matematika gue anjlok, tapi ... duh!
Ketukan di pintu diikuti kemunculan Danisa membuatnya tersentak sendiri. Sok tenang, Ara menarik kabel earphone dari kedua pundak dan memandang sang kakak.
"Iya, Kak?"
"Ra, Kakak mau ngomong ya."
"Soal?"
"Tempat les."
***
Ara jelas tidak ada alasan untuk menolak usulan Danisa. Dia hanya mempertanyakan tentang mengapa melewati pelajaran Matematika sebagai kriteria kelulusan sekolah serasa seperti satu halangan besar dalam hidup. Atau memang hanya dirinya saja yang pusing karena itu. Tapi manusia terlahir dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda, kenapa anak - anak yang pintar Matematika sepertinya lebih mendapat apresiasi daripada anak - anak yang pintar dalam seni atau bahasa? Why?
KAMU SEDANG MEMBACA
Instagram, 2018
Teen FictionKetika cowok yang Ara temui di tempat les, adalah follower akun Instagramnya...