7. Please?

294 70 25
                                    






Sisa hari sebelum dia mengikuti les pada minggu berikutnya membuat Ara jadi gelisah tak jelas. Pasalnya, tidak ada chat masuk dari Doni ataupun tanda - tanda aktivitas cowok itu di Instagram, yang berarti tak ada kejelasan soal buku Ara yang belum kembali.

     "Ndutttt!"

     Tumben, suara Ale memanggil dari luar kamar hari Sabtu petang itu dimana biasanya sepupunya itu justru akan sibuk mengurung diri berkutat dengan tugas kuliahnya atau berada di belakang meja kasir bengkel milik papanya.

     Mematikan speaker yang sedang memutar lagu hits kepunyaan Day6, Ara lalu beranjak menuju pintu dan membukanya cepat.

     "Tumben, Le?"

     "Lo ngapain?"

     "Nggak ngapa - ngapain."

     "Jalan yuk!"

     Ara sekilas memandang Ale dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Jalan kemana?"

     "Cari martabak lah..."

     "Hah?"

     "Mau nggak?"

     "Iya udah deh, gue ganti baju dulu."

     "Gue tunggu di depan, Ndut, jangan lama - lama."

     "Iya, iya."

     Menutup pintunya begitu Ale berbalik, Ara bergegas mengganti bajunya dengan celana denim serta t-shirt longgar. Tak lupa dia menarik kemeja berwarna hijau botol untuk dipakainya sebagai luaran sebelum meraih pouch bag kanvas kesayangannya dan memastikan dia membawa dompet. Dan handphone.

     Di luar terdengar Bunda berbicara dengan Ale. Sambil mengikat rambutnya cepat, Ara menghampiri Ale yang sedang mengunyah wafer rol.

     "Yuk, Le," ujarnya, menyenggol lutut Ale dengan lututnya sendiri.

     "Hng," jawab Ale, meraih tutup kaleng wafer yang didekapnya.

     Ara berpaling pada Bunda sembari mendekat dan mencium sekilas pipinya. "Ara pergi dulu, Bunda."

     "Ati - ati di jalan ya," kata Bunda, menerima cium tangan Ale. "Jangan pulang malem - malem."

    "Siap, Bunda, kita pergi dulu ya," pamit Ale.

     Mereka pun bergegas keluar menuju motor Ale yang terparkir di teras.

     "Bengkel lagi nggak rame emang?" Ara bertanya kemudian.

     "Nggak tau. Gue dari rumah langsung kesini, tapi ada nyokap di sana."

     "Oh..."

     "Udah, naik cepet."

     Tidak perlu ditanya bagaimana padatnya lalu lintas petang itu, Ale hanya bisa mengemudikan motornya dengan kecepatan 40 kilometer per jam alias sangat pelan.

     Di balik masker yang dipakainya demi menyaring polusi, Ara menggumamkan lagu yang melintas di kepalanya. Percuma juga mengajak Ale berbicara di tengah kemudi seperti ini.

      Padahal jarak menuju kedai martabak kesukaan Ale tidak begitu jauh, tapi setidaknya memakan waktu lebih dari setengah jam hingga mereka sampai di tempat tujuan.

     Kedai itu cukup populer. Biasanya Ale membeli martabak di situ paling tidak setiap minggu, tapi seingat Ara ini sudah hampir 3 minggu sejak terakhir kali Ale mengajaknya ke sana. Dan malam itu, antrean pelanggan cukup banyak.

Instagram, 2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang