-Jangan hanya melihat seseorang dari perawakannya, biasanya yang kelihatannya baik, belum tentu baik. Yang kelihatan buruk, belum tentu buruk.-Anastasia Halim.
Mungkin ada yang bertanya-tanya bagaimana hidupku selama ini , bersama orang-orang yang bermuka dua di depanku dan papaku.
Bagaimana Aku bisa menjalani hari-hariku, sejak kejadian sebulan lalu, di mana pernikahan ku gagal, hanya tersisa satu bulan dari tanggal yang sudah di tentukan, tepatnya di hari ini.
Berat? tentu saja. Menyesal? Mungkin iya, tapi lagi-lagi Aku kembali berpikir, betapa hebat sang pencipta mengatur jalan hidupku, tanpa ragu, dia membelokkan rencana yang tak harusnya aku jalani dalam hidupku, karena Gerald tidak sepadan bersanding dengan diriku dalam ikatan pernikahan.
Oh ya, satu lagi yang membuatku bersyukur, adalah Papa. Aku bisa bertahan untuk tetap tegar, melewati hari-hari ku yang pelik , saat berada di rumah yang tidak berasa rumah untukku. Hanya karena Papa masih tinggal di sini, Aku pun menjadi kuat. Kuat menghadapi segalanya.
"Pa.' panggilku dari balik pintu luar dan mengetuk pintu serta mengabaikan suara Mama Windy.
Tak lama, daun pintu bercat putih itu perlahan terbuka, tampak wajah Papa di balik pintu.
"Anas." tampak keterkejutan menyelemuti wajahnya.
"Pa, Anas berangkat dulu ya." Aku memberikan senyuman dan menarik punggung tangan Papaku dan menempelkannya di keningku.
"Hati-hati Nak. Jangan pulang larut malam, Papa tunggu Anas pulang baru tidur." Pesannya dengan tersenyum ke arahku.
Masih ku genggam erat tangannya.
"Paaa.. Tidurlah. Jangan menunggu Anas ya. karena Anas tidak akan lama. Besok kan, Anas akan bekerja." mungkin di mata papa, aku ini masih seorang putri kecil untuknya.
Pria kesayanganku ini pun tersenyum, tangannya terangkat menyentuh puncak kepalaku.
"Baiklah putri papa, hati-hati dan bersenang-senanglah bersama sahabatmu." Tentu Papa mengizinkan, karena keluarga Denada dan Mark, sudah sangat di kenal oleh papa.
"Terima kasih Pa." ucapku sebelum benar-benar berlalu meninggalkan papa.
Aku membawa kakiku menuruni anak tangga perlahan tapi pasti. Satu yang membuatku malas saat menapaki anak tangga yang membawa kaki ku untuk menjejakkan bekas langkahanku di atas lantai.
Ada Savira di sudut ruangan yang tidak jauh dari tangga, dia sedang asik menggenggam benda pipihnya, sambil berselonjor di atas sofa ruangan tamu.
Aku pun cuek, seakan tidak melihatnya. Di rasa Aku sudah memang terbebas untuk melangkah dengan pasti keluar rumah, itu salah. Dia sadar akan keberadaanku, dan mulai bersuara dengan sombongnya.
"Jangan lupa, gaet pria yang baik-baik! jangan mengulang kesalahan yang sama. Memalukan sekali!" gumamnya dari ujung sana.
Aku seakan tidak mendengar umpatannya terhadapku, tidak ingin menambah beban yang terus menerus mereka tancapkan di tubuhku. Begtiu pula, Aku sungguh tidak berniat untuk menjawab, ada baiknya seperti kata-kata bijak diam adalah emas.
Sesampainya di luar rumah, Aku merasakan udara dari surga. Terasa sangat bebas, terbebas dari rasa yang mencekat di rongga pernafasanku.
"Apa anda baik-baik saja Nona?" aku tidak menyadari, kalau Kak Marco sedang duduk di samping di mana aku berdiri. Tepatnya di ruangan kecil yang di sediakan papa untuknya.
Aku monoleh ke arahnya dan menganggukan kepalaku dan tersenyum kecil.
"Hemmm, Aku baik-baik saja. Maaf, Aku berangkat dulu. Kasihan Denada menunggu." balas ku dengan berjalan menuju ke arah gerbang rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ring (Dreame/Innovel)
Romance(Follow dulu sebelum baca) "Sekali melingkar di jarimu, tidak akan pernah terlepas tanpa seizinku!"~ Jaxton. Makna dari cincin pernikahan adalah keabadian bagi pria dingin itu. "Cincin pernikahan sialan ini! membawaku ke masa yang sulit." ~ Anasta...