Chapter 1.1 : Fake Smile

2 1 0
                                    


Titik air hujan membasahi perjalanan sepasang suami istri itu, tanah Owsley berair. Seorang wanita tua duduk di kursi putih teras huniannya menanti sang putri bersama menantunya. "syukurlah kalian datang dengan selamat" ucap Wanda sembari memeluk Marilyn dengan handuk hangat. Putrinya menyambut perlakuan tersebut dengan raut beragam, ia tak tahu harus memiliki perasaan apa sekarang. Haruskah ia bersedih dengan keputusan keponakannya atau haruskah ia bahagia karena sebentar lagi ia bisa melihat putri kembarnya hidup normal, meskipun hanya salah seorang dari mereka?

Selepas membenarkan posisi Honda Civiknya, Robby memilih untuk menjumpai putri kembarnya di ruang perapian, tidak. Hanya ada Emma disana. Gadis itu sedikit memberi ruang pada sofa yang ia duduki membiarkan bokong sang ayah mendarat disana. "dia sudah tidur" Wanda yang berujar saat pertanyaan Robby pada Emma mengudara. Edna tidur awal dan bangun terlambat, selalu begitu sejak dulu. Emma menundukkan pandangannya, harapnya mendengar kabar mengenai pemuda itu.

"Ayah yakin Edna telah menyampaikan hal ini padamu" Emma mengerti arah pembicaraan ini, raut sendunya terkuak begitu saja. Gadis itu beranjak meninggalkan ruang tengah, ia bergumam tak jelas namun semua orang dapat menangkap satu kata tak asing, 'Mark' membuat sang ayah menginterupsi langkah Emma dengan berujar "duduk dan dengarkan ini, Emma. Ayah belum selesai, ada yang ingin ayah bicarakan padamu menyangkut masalah Mark" Emma berhasil terbujuk dan kini ia kembali pada posisinya.

Robby tak sampai hati mengatakan yang sebenarnya, apalagi melihat Emma yang seperti menahan senyumnya. "ia tak memberimu surat karena sibuk menjalani kuliahnya, Emma. Kau jangan khawatir" ia tak berbohong untuk yang ini "ia bilang jika ada waktu senggang ia kembali mengirimimu surat" ini juga tidak. Tetapi masih bisakah kata-kata itu menepati janjinya? Emma tak bisa untuk tak menarik ujung bibir lembabnya ke atas, senyum manis itu menular pada seluruh orang dewasa di ruang tengah.

Sang istri mengusap pundak pria itu perlahan guna memberi kekuatan agar ia mampu mengatakan segalanya tanpa tertinggal fakta apapun. Robby mengangguk dan "Mark juga telah tahu bagaimana cara agar kau bisa bebas" Marilyn melepaskan usapannya, maniknya berusaha menyembunyikan raut keheranan itu. Ia membatin apa yang akan direncanakan suaminya kali ini. Ya, Marilyn dan Robby telah mengetahui hal itu, Emma dan Edna lebih memilih untuk hidup terkurung selamanya. Wanda membicarakan ini saat bertiga masih di teras.

Keputusan itu harus dibuat, mau tak mau ketiga orang dewasa itu harus memilih salah satunya. Belum berlanjut pembicaraan sensitif itu, Marilyn tiba-tiba mengajak Emma tidur dan meninggalkan ruang tengah. Kini hanya seorang pria dan wanita tua di ruang perapian, "aku yakin Marilyn tak ingin membuat keputusan itu" Robby berujar mendapat anggukan dari Wanda. Nenek itu meraih cangkir-cangkir yang telah kosong seraya berujar "mengertilah, dia seorang ibu." Robby memberikan senyuman miringnya kali ini "seharusnya kau bisa mengajarkannya untuk memilih, layaknya kau memilih antara Marilyn atau Judith" nenek itu membatu.

Manik mereka beradu untuk waktu yang lumayan lama, "itu berbeda, ada yang salah dan ada yang benar" Wanda memulai perdebatan tak perlu itu "jadi kau masih berpikir jika Judith itu salah?" telapak tangannya menjadi penjeda menahan Wanda membalas kalimat itu "lagi pula bukankah jelas yang mana yang benar diantara mereka berdua?" nenek itu meninggalkan aktivitas bebersihnya, kini ia duduk kembali dan "aku yang saat itu tersesat ilmu Brenda akan mudah mengambil keputusan karena saat itu aku bodoh" pria itu mendekatkan wajahnya kepada sang mertua "jika kita tak memilih, kita semua bodoh"

Belum sampai tubuh Robby meraih pintu kamarnya, Wanda menahan dengan kalimat "jika kita tak memilih maka kita tak membiarkan egoisme menguasai kita" pria itu berbalik dengan tatapan penuh tanda tanya "bagaimana bisa kau berpikir seperti itu, nenek tua? Pahamilah, Edna tak normal, ia juga bisa dibilang terpaksa ada dan kita semua tahu itu. Tak seperti Emma yang dulunya ceria, mudah bergaul dan kini ia bisa merasakan cinta. Apa kau__" manik Wanda berair membuat ucapan itu menggantung "kau ayahnya, dan kata-katamu seolah menjelaskan bahwa kau tak menyayanginya" Robby memijat pelan pelipisnya "bukan itu maksudku" Wanda tak ingin melanjutkan itu, ia berlalu setelah jemarinya meraih cangkir-cangkir kosong.

You In Me, The Twin [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang