Yang lebih muda mengajarkan tata cara upacara pemakaman sesuai adat dan agama yang ia ketahui kemudian mempraktikkannya bersama sang paman. Setelah berkabung, Mark menelusuri dengan manik ruangan demi ruangan yang tak pernah berubah itu. Sosok itu, ia mencari sosok itu namun nihil. Pemuda itu bersikap tak sehangat dulu, ia pun melakukan upacara dengan tergesa dan mengabaikan pertanyan basa-basi sang paman, dengan keadaan canggung Mark terhalang harga dirinya jika ia bertanya dimana Emma dan Edna.
Robby kembali memastikan "apa kau yakin pulang sedini ini?" sembari menyeruput kopi panasnya. Yang ditanya mengangguk mantap tanpa sepatah katapun. "sebegitu bencinya kah kau dengan keluarga ini?" tanya Robby sendu, Marilyn tak berkutik, wanita itu terduduk lesu memandang jendela yang menghadap lumbung. "ya" tegas pemuda itu "kau berjanji mengantarku segera" lanjutnya.
Dalam langkahnya di ruang tengah, Mark terhenti "bicaralah sebentar dulu" ajak pria yang lebih tua, lengan kekarnya meraih pundak si keponakan namun perilaku itu di tepisnya cepat "kau boleh membenci paman dan bibimu ini, tetapi jangan sepupu-sepupumu apalagi Emma" pemuda itu menoleh ke belakang menatap nyalang pria tua di depannya "Jangan memerintahku seenakmu lagi, Robby. Akan kupastikan ini kali terakhirku melihat kalian semua!" pekik yang lebih muda menggema di seluruh ruangan.
Robby tak dapat membayangkan bagaimana terpukulnya sang putri di balik pintu kamar, segera ia tarik lengan si keponakan menjauh dari hunian, belum sempat mereka menggapai pintu utama suara dobrakan dari kamar si sepupu menginterupsi. Suara itu semakin keras hingga dentuman terakhir menampakkan dua orang gadis yang Mark kenal. Manik mereka bertemu untuk situasi yang singkat, Edna menarik kembali si adik yang dengan kerasnya memegang kuat pinggir pintu, ia bersikeras ingin menyapa snag sepupu.
Ingin hati Mark menghampiri gadis yang sepertinya kelihatan semakin kurus itu, namun lengannya dengan cepat ditarik menjauh oleh sang paman. Robby menyadari kalau si keponakan yang tadi berteriak seenaknya tak menyadari keberadaan putri-putrinya, dengan sisa keangkuhan yang ia miliki ia jauhkan pemuda itu dari putrinya. "kau bilang kau tak ingin melihat kami semua kan?" kalimat itu menyadarkan Mark dan membuat maniknya menatap kosong lantai, terdapat semburat ekspresi penyesalan disana.
Pemuda itu membatu di ambang pintu melihat Emma dengan kuatnya berusaha lepas dari pelukan sang kakak, klakson Honda Civik tua menggema memanggil penumpangnya yang masih membeku di tempat. "Jangan pergi, kumohon!" pinta Emma diselingi isaknya. Dari kejauhan panggilan mengudara Robby lontarkan kala Mark dengan pelan menghampiri pintu kamar putrinya. "apa yang terjadi padamu?" bisik Mark kala ia berhadapan dengan gadis yang sudah lama ia rindukan. Tak seperti dirinya, kondisi gadis itu tak sesegar terakhir mereka bertemu.
Edna masih memeluk erat si adik, dari balik pelukan tersebut masih terlihat sebelah wajah Emma. Jemari pemuda itu mendarat di pipinya kemudian ibu jarinya mengusap kantung mata hitam di bawah mata Emma "apa yang terjadi padamu, Emma?" manik Mark memerah, tak seharusnya ia bersikap lemah dihadapan gadisnya namun apa yang bisa ia lakukan, hatinya benar-benar remuk melihat keadaan sang pujaan seperti itu.
Marilyn dengan cepat menarik kemeja biru Mark membuat pemuda itu hampir terjatuh, setelah mereka berpisah jarak dengan cepat Marilyn menutup pintu kamar putrinya "bukankah kau ingin pulang, hai keponakan?!" tanyanya dengan wajah yang merah padam. Mark berdiri perlahan, setelah menelan air liur sendiri dengan sulit ia berujar "kumohon ijinkan aku menemui putrimu" wanita itu berdiri didepan pintu menahan pegangannya karena dari dalam kembali terdengar dentuman-dentuman keras. "kau bilang kau tak ingin melihat kami semua? Apa kau kini telah merelakan nyawa Judith bodoh itu?" ucapan itu mampu mengubah air muka Mark.
Marilyn mengambil pandangan random, kemana saja asalkan tak pada pemuda yang postur badan nya lebih besar dan lebih tinggi darinya ini. Mark nyaris menampar hebat sang bibi kalau saja Robby tak segera menahan perlakuannya itu. "ku tarik permohonanku" suaranya berbisik namun menusuk "tidak, aku tadi tidak memohon" tatapan itu semakin tajam menusuk "Apa kau pikir aku mencintai putrimu hingga aku memohon meminta-minta padamu, Jalang?!" teriakan itu menggema mengudara bebas membuat seluruh suara keras lain terhenti termasuk dentuman dari dalam kamar putri Robby dan Marilyn.
KAMU SEDANG MEMBACA
You In Me, The Twin [COMPLETE]
Misteri / ThrillerSeorang gadis yang terikat pertalian mistis membuatnya dilema untuk meneruskan perjalanan cintanya. Bukan kematian cenayang itu yang menjadi solusi tetapi sebuah keputusanlah jawabannya. keputusan apa yang harus ia ambil? hidup terkurung bersama sa...