Chapter 0.3 : Laugh as a gift

3 1 1
                                    


Seorang bocah terbalut kemeja kotak-kotak hijau merah dan celana kain abu-abu tengah bersembunyi dibalik meja makan. Sesekali telapak tangannya yang tertusuk butiran pasir ia sapu dengan kain bajunya sebelum lengan itu mencuri pelan biskuit hangat sang nenek. Lengan bebasnya yang lain meraih kantong kertas di saku celananya, membukanya pelan agar sang nenek tak menyadari keberadaannya. Satu per satu biskuit ia masukan, "satu lagi untuk Emma" bisiknya. Kini pandangannya mengedar pada pintu coklat muda bercelah menampakkan seorang gadis berkepang dua coklat tua memandangnya balik.

Gadis itu mematung kala bocah di bawah meja menaruh telunjuk di bibirnya agar tetap menjaga suasana hening. Emma terus memperhatikan gerak gerik bocah yang terlihat gugup itu, ia berusaha pergi ke balik nakas tak terpakai di samping meja makan. Nakas itu berada di samping pintu kamar Emma dan Edna. Belum sampai bayangannya menggapai ujung nakas, kaki bocah itu tersandung kursi yang mengelilingi meja makan, meraup atensi dari si nenek. "Mark!" teriak Wanda kala bocah empat tahun itu berlari kencang ke dalam kamar Edna dan Emma.

Ketiga bocah itu tertawa geli mendengar teriakan Wanda beserta ketukan kasar di pintunya. Setelah suara nenek itu menghilang fokus ketiga balita ini berhambur pada bungkusan kertas di genggaman salah satunya. "ini untukmu" lengan mungil Emma menerimanya. "bagianku mana?" Edna tak terima Mark hanya mengambil dua keping biskuit. Mark tak membuat raut bingung, ia ambil lagi biskuit di lengan Emma lalu mematahnya menjadi dua. "kalian dibagi saja" Emma menerima kembali belahan itu, tetapi tidak pada Edna. Gadis itu hanya menatap datar belahan biskuit di lengan kiri Mark, "ambillah pirang!" Mark mulai kesal dengan tangannya yang menggantung.

Wajah, warna kulit, warna mata, semua sama. Pembedanya hanya di sikap dan warna rambut mereka. Emma berwarna cokelat tua seperti Marilyn sementara Edna berwarna pirang seperti Robby. Emma memiliki watak periang dan mudah tertawa sedangkan Edna pemurung dan mudah iri. Edna memberikan tatapan tajam pada manik Mark kala kata 'pirang' itu masuk ke pendengarannya. Ia lagi-lagi tak terima. Dilemparnya biskuit itu menjauh kemudian ditariknya poni-poni cokelat tua milik Mark. Bocah yang diperlakukan seperti itu hanya berteriak kemudian menangis.

Awalnya Emma menikmati pemandangan itu karena Edna melakukannya sembari tertawa riang. Namun, setelah netra gadis itu menelusuri liquid bening berjatuhan di pipi gembil sepupunya ia langsung menunduk, ia pernah melakukan hal yang sama kala kakinya tak sengaja menabrak batu di halaman belakang hingga lututnya lecet berdarah. Menangis. Menangis tanda kita sedang sedih dan terluka. Gadis itu tersadar dan mencoba menghentikan sang kakak namun tak mampu.

Edna terus menarik rambut kecil Mark, bocah gemuk itu seakan takut dengan perilaku sepupu yang lebih muda beberapa bulan darinya itu. Bahkan kali ini Edna menghempaskan dahi sepupunya pada keramik lantai mereka. Mark semakin mengaduh kesakitan. Diam-diam Emma meraih gagang pintu kamar untuk kemudian memutar kunci pintu itu. Belum sempat ia selesai dengan niatnya, Edna melempar buku tebal kosong seukuran kamus besar ke arah gagang pintu. "jangan beri tahu mama! Ayo kita bermain bersama, Emma" Edna berujar bersama senyumannya.

Emma meraih kembali buku yang hampir mengenai lengan kecilnya, ia tatap simpati pada tubuh gemuk Mark yang tak mampu melakukan apa pun itu. Emma mengambil ancang-ancang melempar buku pada mereka "bagus! Kau tepuk bokong si gendut ini dengan itu" ujar Edna dengan semangat membara. Emma menggeleng kemudian melempar buku tebal itu tepat di kepala kembarannya. Lengannya dengan cepat membuka pintu kemudian menarik Mark keluar kamarnya.

.

Selesai mengoles salep pada benjolan di kepala cucu lelakinya, Wanda berujar "aku juga sependapat denganmu, Robby. Mark melakukan hal bodoh seperti ini karena ia belum diakui The Highest. Tetapi, Emma? Apa alasannya berada di pihak Mark?" Edna tak terlihat gugup sama sekali. Ia menggenggam buku tebal itu dengan kencang "Emma membenciku, Mama! The Highest tak akan mengampuninya" teriakan Edna menggema di hunian lusuh itu, lengannya yang bebas masih memeluk lengan sang ibu.

You In Me, The Twin [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang