Cita-Cita

3 1 0
                                    

Dari kecil gue udah biasa dibandingin sama Geblyn, abang gue yang amit-amit. Dia tinggi, gue juga, dia putih mulus, gue enggak, dia cakep, gue enggak, dia bisa bikin para siswi klepek-klepek gue kebalikannya. Gue nggak kembar sama Geblyn kayak Kak Ginastri sama Kak Ginala tapi nggak tahu kenapa orang-orang di luar sana selalu ngebandingin kita berdua.

Terkadang gue menyesal telah menghabiskan masa kecil gue dengan kegiatan-kegiatan yang bisa dibilang memperbuluk penampilan gue. Pertama gue dulu putih kayak Bunda dan kakak-kakak gue namun gara-gara selalu tergoda oleh ajakan main layangan Jono, akhirnya gue pun tanning tiap hari di lapangan. Karenanya kulit gue perlahan menggelap. Selanjutnya dulu gigi gue nggak tongos, tapi setelah kecelakaan sepeda di perlombaan tujuh belasan gigi gue secara ajaib mencoba menyaingi batas bibir. Yang ketiga gara-gara setiap hari gue cuci muka pakai sabun mandi bukan sabun pencuci muka alhasil muka gue keset-keset dan berjerawat. Nggak hanya itu aja gaes. Dulu waktu kecil gue pernah iseng motong rambut pake gunting sesuka hati gue. Alhasil waktu rambut itu tumbuh, modelnya jadi nggak jelas. Anehnya itu terus kebawa sampai gue SMA. Jadi kalau nggak mau keliatan aneh pas rambut gue udah panjang satu setengah senti dari kepala harus segera dicukur.

Beda banget sama Geblyn. Dia tuh nggak mau diajak main bola, mancing juga nggak mau apalagi ngejar layangan, ogah banget katanya.

"Buat apa ngejarin layangan putus? Mau saingan sama angin?" komentarnya waktu gue ajak ngejar layangan bareng Jono dulu.

Dia juga nggak suka main sepeda apalagi ikutan lomba tujuh belasan. Alhasil kulitnya tidak menggelap dan ngggak pernah mengalami kecelakan seperti gue. Waktu Geblyn mulai masuk SMP dia cuci muka pake sabun khusus buat cuci muka dan sampo beda merek yang bikin dia makin seger dan wangi, model rambutnya juga ganti sesuai tren yang layak untuk anak sekolahan. Jadi dia nggak pernah ngalamin wajah keset dan rambut kering apalagi model rambut yang nggak normal kayak gue.

Gue akui sebagai saudaranya gue insecure ada rasa iri yang nggak bisa dipendam buat seorang Geblyn. Tapi dibalik semua kelebihannya gue sering berantem sama dia itu karena dia ngeselin. Ada aja yang bikin gue kesel ke dia yang nggak bisa dijabarin satu persatu.

Walaupun begitu Geblyn boleh ganteng, diincer cewek satu sekolahan, jadi selebgram ataupun rajin menangin lomba pidato yang penting otak gue lebih encer dari dia. Gue pernah baca di salah satu postingan berisi kalimat dari seorang gubernur yang intinya, 'Kamu boleh tidak tampan yang penting mapan.' Gue yakin dewasa nanti gue bakal lebih mapan dari Geblyn dengan kemampuan otak ini.

Nggak ada angin nggak ada hujan si Geblyn masuk kamar terus tiduran di ranjangnya sambil menatap langit kamar.

Geblyn berguman, "Bisa nggak ya gue mencapai cita-cita gue?" kesambet dimana nih Abang gue?

"Emang lo punya cita-cita?" tanya gue.

"Punyalah!" songongnya, "Gue pengen jadi Psikolog Anak biar bisa ngeramal masa depan anak-anak."

"Bwahhhhhhaaaaaaa," tawa gue pecah. Kalau ini acara TV show udah gue pastiin tangan gue melambai ke kamera.

"Kenapa lo ketawa?"

"Seriusan lo mau jadi Psikolog Anak?" Geblyn mengangguk, "Kalau anak yang dateng model kayak gue yang ada keluar dari ruangan lo bukan kebantu malah jadi sarap. Bwahhhhaaaa."

"Sialan lo Gani." Geblyn memiringkan tubuhnya ke arah tembok, memunggungi gue. Gue yakin abang gue baru kepikiran tentang itu sekarang.

"Siapa sih yang bilang ke lo kalau psikolog bisa ngeramal? Ada-ada aja deh." Geblyn menoleh.

"Bukannya iya?"

"Sumpah bego lo Bang. Mana bisa, lo kira mereka dukun apa?" Geblyn cengo.

"Di jurusan psikologi aja ada pelajaran Stastika yang bakal lo gandeng dari semester dua sampai akhir. Lo aja PR nyontek ke cewek pinter yang ngejar-ngejar lo. Gue akui lo bagus nyampein opini lo ke orang lain tapi enggak buat menghibur ataupun memotivasi orang lain. Gimana kalau anak yang dateng ke lo ngalamin kekerasan dan ngalamin gangguan mental. Sampai ayam jantan bertelor pun kalau lo yang nanganin gue nggak yakin anak itu sembuh." Geblyn tampak berpikir lalu memunggungi gue lagi.

Ngomong-ngomong Geblyn aja gitu-gitu punya cita-cita. Masa gue nggak. Gimana gue mau jadi lelaki mapan walau tak tampan kalau nggak punya cita-cita?

Gue tidur di ranjang gue menghadap ke tembok sembari mentapnya berharap mendapat inspirasi. Yosh! Mulai besok gue harus hunting cita-cita.

5G [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang