7.

239 49 5
                                    

Sudah sekitar sepuluh menit Yoongi menunggu di depan flatnya. Menunggu Park Jimin. Terakhir bertemu pria itu berkata akan menjemput Yoongi untuk mulai bekerja di apartemennya. 

Saat mobil mewah itu menepi di sampingnya, Yoongi masuk ke dalamnya setelah Jimin melambaikan tangan—mengisyaratkan masuk. 

Di perjalanan Yoongi hanya menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Jimin. Tidak berniat bertanya balik. Hal itu membuat Jimin tampak kesal. Bahkan sampai di apartemen pribadi milik Jimin pun Yoongi masih setia dengan ketidakingintahuannya. 

"Sebelum mulai bekerja, kita harus membahas peraturan kerja di sini lebih dulu." Ujar Jimin di balik counter dapur. Menyiapkan dua gelas berisi wine. 

Yoongi hanya memperhatikannya dalam diam. Sesekali ia melirik sekitar sudut ruangan. Berharap dalam hati suatu saat ia bisa membeli rumah sebagus ini. Agar ia dan Jungkook tidak tinggal di tempat kumuh lagi. 

Ternyata Jimin sudah menyiapkan selembar kertas berisi rangkaian kata berjudul Peraturan Kerja. Yoongi membacanya dengan perlahan. Baru poin pertama Yoongi sudah menaikan sebelah alisnya. Jimin terdiam, asik menikmati wajah pria pucat yang duduk berhadapan dengannya kini. 

"Kenapa aku harus tinggal di sini selama bekerja?" 

Pertanyaan Yoongi pertama yang langsung dijawab lugas oleh Jimin.

"Karena kau dibutuhkan selama 24 jam. Maka dari itu setiap hari Senin sampai Jumat kau akan tinggal di sini sekaligus bekerja. Hari Sabtu dan Minggu kau bisa pulang ke rumah." 

"Aku harus bicarakan dulu dengan Jungkook." 

"Jungkook sudah setuju." 

Yoongi sedikit melebarkan kedua matanya. Jimin terkekeh singkat. Iseng menjawil dagu Yoongi. "Nanti malam setelah kelasnya selesai Jungkook akan ke sini. Kau bisa bicara padanya nanti." 

Memilih tidak membalas, Yoongi kembali membaca. 

"Kenapa aku harus tersenyum?" 

"Sudah ada alasannya di situ. Senyum itu ibadah. Selain bekerja di sini kau bisa ibadah sekaligus. Hebat bukan?" Jimin bertepuk tangan heboh seolah yang dikatakannya sangat mengguncang jagat raya. 

"Coba tunjukan senyummu, sebagai latihan." 

"Seperti ini?" Yoongi melengkungkan bibirnya. Mencoba.

Jimin mengernyit tidak suka, "Lebih tulus, Yoongi. Seperti ini." Jimin mencontohkan bagaimana tersenyum yang seharusnya sampai matanya hanya sisa segaris. 

"Tidak dipaksakan. Lemaskan otot bibirmu lalu tarik perlahan." 

Yoongi mengikuti dengan semangat. Gigi-gigi kecilnya ikut terlihat.

"Jangan begitu. Ya Tuhan mengerikan sekali, Yoongi." Namun Jimin tidak puas juga. Sepertinya Yoongi memang tidak ada hasrat untuk tersenyum. 

"Enough. Pokoknya setelah ini harus banyak belajar tersenyum yaa?" 

Yoongi menganggukkan kepala. Lucu. Jimin tertawa garing. "Kalau tetap tidak bisa, tidak apa-apa. Nanti biar aku yang jadi alasanmu tersenyum."

Mendengarnya Yoongi butuh waktu beberapa detik untuk diam menatap Jimin sebelum menunduk kembali, membaca kertas di tangannya. 

"Tadi kau bilang aku dibutuhkan selama duapuluh empat jam? Kenapa di sini tertulis harus tidur malam di jam sepuluh dan bangun jam lima pagi?" 

Jimin menyesap wine, kembali tersenyum saat Yoongi mengajukan pertanyaan. "Tidurmu dianggap bekerja di sini." 

Lipatan samar terlihat di kening Yoongi, ingin kembali bertanya namun diurungkan. Mungkin memang begitu peraturannya. Ia kembali membaca sampai habis diiringi tatapan bingung. 

Aneh sekali. Yoongi pernah bekerja sebelumnya tapi peraturan kerja dari Jimin sangat tidak biasa. 

"Oke. Kau sudah setuju dan hari ini kau bisa mulai bekerja. Oh ya, ada yang mau ditanyakan lagi?" Ucap Jimin setelah ia menandatangani kertas tersebut. 

Yoongi tampak berpikir. Dihitungan enam detik ia mengajukan pertanyaan. "Kalau aku melanggar peraturan, apa upahku akan dipotong?" 

"Pertanyaan yang sangat bagus," Jimin menjentikan jarinya. Wajahnya terhias senyum lagi. Pria itu memang sering sekali tersenyum. "upahmu tidak akan ku potong. Kau akan ku marahi dan ku cium berkali-kali." 

Untuk kali ini senyum Jimin terasa mengerikan bagi Yoongi. 

Jimin berpikir Yoongi akan tersipu malu atau merona di pipi tapi yang ada Yoongi merengutkan wajah dan kedua matanya terbuka lebih lebar. 

"Pelecehan." 

Jimin hampir tersedak wine yang sedang ia teguk habis. Mengedip berkali-kali. "Ha?" 

"Bagaimana bisa kau melakukan pelecehan terhadap karyawanmu sendiri?" 

"O-oke. Lupakan. Aku hanya bercanda." 

.





.




.




.





.




Bel pintu terdengar cukup nyaring dengan gesit Yoongi membukakan pintu. Pria bergigi kelinci dengan cengiran lebar menabrakkan tubuhnya. Memeluk erat. 

"Maaf agak terlambat." 

"Tidak apa-apa." Yoongi menepuk-nepuk puncak kepala Jungkook setelah pelukan tadi terlepas. Menyuruhnya masuk ke dalam. Yoongi melirik dari sudut matanya dimana Jungkook membawa satu tas besar. 

"Kalian bicara saja. Kalau perlu sesuatu, aku ada di kamar." Jimin meninggalkan keduanya. Memberikan waktu dan ruang untuk mereka berbicara.

"Mungkin kau sudah tau kenapa aku membawa beberapa pakaianmu ke sini." Jungkook membuka suara sembari menyeret tas besar dan di sodorkan ke arah Yoongi. 

"Kau menyetujui aku tinggal di sini?" Yoongi mendapat balasan anggukan dari Jungkook.

"Sebelumnya kau bilang akan berusaha memperbaiki semuanya. Memulai dari awal. So, tunjukan padaku kalau kau memang berusaha untuk berubah. Kali ini aku benar-benar percaya padamu, kak Yoon." 

[]

HEAL ME [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang