PM - 5

167 22 3
                                    

CHAPTER LIMA

Team up melibatkan banyak sekali tekanan. Karena mungkin, itu jadi penentuan juga apakah sesi berikutnya akan berjalan lancar atau akan menemui kendala. Apalagi penilaian pun berdasarkan team tersebut. Jinny pun tidak heran sewaktu mereka semua dikumpulkan di area tersebut, wajah-wajah pucat menghiasi banyak peserta. Termasuk dirinya, Emy, Gillian dan Mary. Mungkin mereka sekamar tapi tidak menjamin mereka akan dibagi menjadi team yang sama. "Apakah aku akan cocok dengan mereka?" tanya Jinny kepada Emy.

"Aku juga agak khawatir. Aku nyaman dengan kalian."

Pengumuman mulai terdengar. Beberapa orang pengurus acara membagikan pita warna-warna; biru, hijau, kuning, hitam, putih dan ungu. Jinny mendapatkan biru sedangkan Emy dan Mary mendapatkan hitam, dan Gillian mendapatkan kuning. "Nah, kalian sudah mendapatkan pita tersebut, kalian akan berkumpul menjadi kelompok kecil. Dari sana, akan ada tes yang akan menentukan di mana team yang cocok untuk kalian."

Jinny menarik dirinya, untuk bergabung bersama dengan yang mendapatkan pita biru panjang tersebut. Dia tersenyum canggung kepada beberapa gadis yang nampak sudah akrab satu sama lain. Mungkin dari kamar yang sama? Jinny memandangi beberapa wajah pemuda dan gadis lain yang turut bergabung. Nampaknya yang mendapatkan pita biru cukup banyak. Mata Jinny tertumbuk pada satu wajah yang juga balasmenatapnya. "Uh? Kau .." Jinny kehilangan suaranya.

Yah, siapa lagi kalau bukan Choi Yeonjun. Apakah kami ini berjodoh? Jinny nyaris berpikir demikian. Sudah mereka berangkat bersama, mendapatkan kamar bersebelahan dan sekarang ada di tim biru yang sama untuk pemilihan team juga? Apakah ini kebetulan saja?

Yeonjun beralih untuk memandang yang lain sedangkan Jinny masih memenggangi pitanya. Ada satu kru yang mendekati mereka untuk membimbing mereka ke area lain daripada aula tersebut. "Kalian adalah yang terbaik, tes kalian akan sulit karena berhadapan langsung dengan pelatih tari terbaik di sini."

"Apa?" Jinny tercengang, begitu pun yang lain. Para gadis dan pemuda di sekitarnya ikut panik, sedangkan Jinny melihat Yeonjun justru menampilkan wajah tenang nan rileksnya. Huh, dasar sombong! Pasti dia merasa percaya diri, kan? Jinny kadang tidak iri dengan orang yang pintar dalam pelajaran maupun bersoalisasi, kadang dia iri dengan orang yang punya bakat sejak lahir untuk melakukansesuatu yang disukainya. Kadang dia iri dengan orang yang tidak punya bakat sejak lahir tapi berusaha gigih untuk mengejar impiannya. Dia berproses untuk semua itu.

Yeonjun? Dia nampak gabungan keduanya—si terbekati dari lahir dan juga punya kegigihan di atas langit.Apakah Jinny lantas iri? Tidak, dia sangat iri.

"Duduk dan buat lingkaran, kita akan mulai dengan tes pertama."

*

*

Bersimbah keringat, Jinny pun mendapatkan minuman untuknya. Sesuai menampilkan tarian terbaiknya—satu tarian yang membawanya diterima di studio tari One Thousand, dia pun terduduk untuk minum cepat. Beberapa peserta lain unjuk kebolehan dan Jinny makin ciut karena mungkin jumlah mereka akan menyusut cepat. Dirinya mungkin tidak sekeren itu, apalagi Yeonjun pun terduduk mengamati tiap peserta layaknya dia yang menjadi juri. Menganggu!

Jinny menoleh kecil ke dalam aula, banyak yang tengah duduk membuat lingkaran dan sama-sama menunjukkan kemampuan mereka. "Semoga Emy dan yang lain dapatkan team yang cocok," katanya.

"Jinny-ssi, aku menonton kau waktu penerimaan kemarin itu."

"Sungguh?"

"Kau sangat keren! Wah, aku pikir, kau sangat berani."

"Te..terima kasih," katanya kikuk. Agak aneh mendengarkan langsung ada yang memujinya. Takayal, Jinny pun mengulum senyuman. "Aku memaksakan diri sebenarnya."

"Aku sangat berharap dapat masuk team denganmu. Ah, ya namaku Jiwon. Aku pergi kemari dengan saudari-saudariku tapi sepertinya mereka ada di kelompok lain. Kau juga?"

"Aku kenalan dengan teman sekamarku dan kami agak akrab sekarang."

Jiwon mengangguk dan berbisik. "Aku dengar kau dan Yeonjun datang dari studio yang sama. Dia yang paling keren ya?" Jinny melirik Yeonjun yang masih menampilkan wajah sok seriusnya dan Jinny mengangguk. "Wah, kalian memang keren. Tidak salah lagi."

"Apakah kau tidak gugup?"

"Um, tidak terlalu. Ini tahun ketigaku di sini. Tahun pertama aku gagal di babak team up¸ tahun kemarn aku gagal di sesi modern dance, sekarang aku akan berusaha sekuat mungkin!" katanya gigih.

Jinny langsung terpana mendengarnya. Astaga, ternyata ada yang lebih ambisius daripada dirinya, yang sudah nekad untuk datang kemari. Sosok ini? Sudah ketiga kali? "Persaingannya sangat ketat ya?"

"Tentu saja, hadiah utamanya adalah debut bersama agensi besar. Kau dapat bayangkan? Itu akan mengubah segalanya."

Mengubah segalanya.

*

*

Soodam tidak henti memasang wajah masamnya. Sekarang, segalanya jadi sepi. Bisa saja dia bergaul dengan murid lain dan di rumah dia mengobrol santai saja dengan Jongin, adik Jinny. Tetapi, semuanya berbeda. Mulai dari di kelas, di kantin, bahkan saat pulang sekolah, Soodam merasakan absennya Jinny membuatnya lesu. Mungkin karena dia sudah terbiasa akan sosok tersebut, jadinya ada yang timpang saat Jinny tidak ada di sisinya.

Soodam melirik ke arah koridor yang agak sepi. Dia merasakan bahunya lunglai. Jika pulang pun, keadaannya tidak bagus. Ayahnya pasti masih dalam mode marah-marah karena tahu Jinny tidak bersama mereka, sedangkan ibu Jinny hanya memberikan alasan kacangan soal Jinny mendadak pergi ke rumah nenek. Ayolah! Siapa yang bodoh?

"Uh? Kau?" Soodam melebarkan matanya penuh binar. Dia mendekati sosok tinggi yang sudah keluar kelas dan kini berhenti karena Soodam sudah menatapnya.

"Uh?"

Soodam bergegasmendekati Soobin, dengan langkah lebar-lebar. Sesaat dia berdiri di hadapan Soobin dan mendongak—tubuh mereka memang berbanding jauh—Soodam pun mencebikkan bibirnya dan melipat tangan di depan dada. "Mau kabur lagi?"

"Apa .. apa maksudmu?"

"Masih mau menghindariku agar tidak memberikan jawaban ke mana perginya Jinny?"

Soobin memalingkan wajahnya singkat. Bahasan ini terus. "Demi Tuhan, aku tidak tahu apapun!" Soodam justru mendelik, memperhatikan Soobin dengan lekat. "Aku tidak berbohong. Mungkin dia pergi tapi tidak ingin diketahui siapapun? Mengapa kau jadi terus menerus mengikutiku?" Akhirnya, Soobin berjalan melewati Soodam yang sudah memanggil-manggilnya. Soodam mengekori Soobin layaknya anak kelinci yang bersemangat.

"Aku .."

"Aku sibuk. Dengar, au tidak tahu kemana Jinny. Kau kan yang satu rumah dengannya, seharusnya kau tahu, bukan? Jadi, dah!"

Soodam cepat menahan tangan Soobin, mengejutkan pemuda itu. "Tunggu, aku tidak percaya kepadamu? Apakah kalian mengenal lama tapi menyembunyikan rahasia satu sama lain? Mustahil," katanya dengan sengit. "Aku mau ikut denganmu!"

Eh?

Soobin nampak kehabisan kata-kata. Sudah cukup merepotkan untuk bersekolah di tempat baru dan merasa asing sendirian tanpa Jinny. Sosok ini justru berusaha untuk mendekatinya bahkan meminta agar ikut degannya? "Tapi .. aku ada urusan .."

Soodam menggeleng dan meraih helm yang ada di motor besar milik Soobin. Tanpa disuruh, dia sudah mengenakan helm tersebut di kepalanya, dan menepuk-nepuk jok penumpangnya. "Aku. Ikut. Titik."

[]

Perfect Matches | txt x secret numberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang