CHAPTER ENAM
Soodam tidak dapat menyembunyikan wajah malunya karena ketika mereka baru keluar dari gerbang banyak dan ada banyak murid yang memperhatikan seraya berbisik. Apakah aku akan dikira kencan? Soodam menatap miring Soobin yang sudah fokus untuk mengendarai motornya. "Ya! Ini bukan berarti aku mau kencan denganmu."
"Siapa yang bilang kita berkencan?!"
Soodam mencelus. "Aku menegaskan. Ini bukan kencan, pokoknya."
"Hm, terserah," ujar pemuda tersebut enteng. Bukan hanya ini yang pertama Soobin membonceng perempuan selain Jinny, tapi ini juga momen untuk pertama kalianya, dia dan Soodam jadi sedekat ini. Yang kalau dipikir-pikir, agak mustahil sih. Pasalnya, Soodam itu lengket sekali dengan Jinny, meskipun begitu, tetap saja tidak lumrah untuk sahabat (khususnya perempuan) Jinny berani dekat-dekat Soobin sampai di titik yang Soodam lakukan. Entah mengapa, itu agak membuat dia berdebar.
Soodam masih menggerutu. "Awas saja kalau ada yang bergosip tentang kita."
Soobin paham, mungkin Soodam terganggu—si murid baru itu? Pasti banyak pihak yang bertanya-tanya. Bukan saja Soobin murid baru, tapi karena Soobin lebih nyaman dalam bayang-bayang. Di hari ini saja, Soobin belum punya teman baru di kelasnya ataupun orang yang gampang diajak mengobrol. Bukan apa-apa, toh Soobin pikir cepat atau lambat, dia akan lulus dan kafenya lebih utama daripada menjalin pertemanan.
"Kita mau ke mana?" tanya Soodam akhirnya memandang miring.
"Kupikir kau tahu ... aku .."
"Ah ya, temukan Jinny."
Ia berdecak. "Aku tidak tahu, mengapa kau keras kepala sekali sih?" Motor pun berhenti di tepian jalan belokan pertama. Soodam berjengit, sedangkan Soobin sudah menolehkan wajahnya. "Aku tidak bisa mengantarkanmu kemana pun, sudah ya? Kita anggap saja tidak saling kenal."
Lho? Mendadak?
"Aku .."
Soobin terus menatap lurus, agak membuat nyali Soodam ciut. Tadi cara bicara Soobin masih tenang dan menghanyutkan, sekarang, Soodam dapat mendengar nada bicara yang cenderung ketus dan terusik, itu agak mengejutkannya. "Kumohon, aku masih banyak urusan. Kau bisa naik taksi .."
"Kau itu tidak punya hati ya?"
*
*
Waktu break itu jadi waktu sempurna. Selain untuk istirahat dan mengumpulkan tenaga yang sudah terkuras habis sampai di titik terbawah, Jinny mengambil kesempatan untuk izin menelepon. Sebenarnya, penggunaan ponsel masih diperbolehkan, hanya saja, pemakaian terbatas dan mereka dilarang keras untuk mendokumentasikan dalam bentuk apapun tiap satu kegiataan dan kegiatan lain seakan itu hal berbau kriminal. Untung saja, Jinny masih diperbolehkan untuk menelepon, sesuai yang Ketuanya katakan.
"Hallo, Eomma? Bagaimana di sana?"
"Kau sudah makan?"
Jinny menggigiti bagian luar bibir bawahnya. Dia menunduk ke arah sepatunya yang sudah berdebu nan lusuh. "Sudah kok. Aku baru selesai latihan. Bagaimana di sana? Bagaimana dengan Jeongin? Dia baik kan? Eomma sudah makan? Bagaimana dengan Tuan Lee?"
"Semuanya baik. Kau fokus saja di sana."
"Tetap saja, apakah Pak Lee sudah tahu? Dia memarahimu ya?"
"Tidak, sayang. Jangan dipikirkan."
"Aku .. tidak tenang," katanya pelan. Ini bukan yang pertama ibunya mungkin terseret masalah sampai harus "disidang" di ruanga tengah kediamaan Lee. Sedari tadi, fokus Jinny pun terpecah; antara latihan dan keadaan di rumah. Membayangkan Tuan Lee yang marah sampai urat lehernya bertonjolan dan suaranya yang naik melengking, Jinny sudah terpikir untuk mengemasi barang-barang dan mencari terminal bus terdekat; untuk pulang. Jinny tahu, dia agak egois sekarang. "Apakah aku harus kembali?"
"Kau bicara apa?! Kau setengah mati ingin berada di sana kan? Sudah berhenti khawatir, kami baik-baik saja. Jeongin sudah masuk sekolah lagi, kok. Gurunya menghukumnya dengan menulis permintaan maaf yang banyak. Hanya saja, segalanya berjalan normal saja," ujarnya.
Jiinny tercenung beberapa saat. Dia terduduk di platform dekat ruang latihan sembari menatap kosong lantai aspal di bawahnya. Sejenak, matanya sudah berair dan dia ingin sekali meluapkan itu semua.
"Kami akan mendoakanmu dari sini."
"Aku .. sayang kalian," katanya terputus-putus.
"Kami juga."
Panggilan itu berakhir karena Jinny tidak sanggup lagi berkata-kata. Terlebih suaranya sudah goyah dengan nada yang nyaris menangis. Akhirnya, Jinny pun memasukkan ponselnya ke dalam saku, bangkit, dan mengusap jejak air matanya. Ketika dia hendak berjalan masuk lagi, Yeonjun sudah berdiri di hadapannya. Tatapan pemuda itu masih tenang seperti biasa, hanya saja bibirnya terangkat naik. "Uh? Kau .." Jinny terdiam di tempat.
"Kau .. habis menangis, huh?"
"Ti—tidak! Apa katamu?" Gadis itu melenggang kemudian tercekat saat tangan Yeonjun menahannya. Sontak saja, Jinny menoleh dan matanya melebar sempurna.
"Ini baru tahapan awal, kalau kau mau menyerah .. menyerah saja."
Kenapa sih dia?
"Aku tidak menyerah! Aku tetap di sini!" pekiknya, agak tertohok. "Mengapa aku harus menyerah?"
"Karena aku kasihan kepadamu."
Jinny makin terlonjak. Kasihan?! Apa katanya tadi?! Gadis itu kehabisan kata-kata, bahkan kesedihan yang tadi datang sudah musnah karena Yeonjun menatapnya miring dan menarik senyuman samar. "Aku .. tidak perlu dikasihani oleh orang sepertimu."
"Bukankah bagus? Sainganku jadi berkurang kalau kau pulang."
*
*
"Astaga, dia bilang begitu?" Emy terbatuk, masih dengan semangkuk ramyun di depannya. Sementara kedua rekan kamar mereka, lebih memilih untuk makan di bawah, Emy dan Jinny memutuskan untuk memesan dua cup ramyun dan makan dengan tenang di kamar saja. Masalahnya, waktu mereka hanya satu jam, itu pun harus diburu-buru dengan mengemasi pakaian untuk dibawa ke kamp sebelah karena mereka akan berlatih semalaman, jadi pakaian ganti adalah barang yang wajib.
Jinny mengangguk seraya mengangguk ramyunnya. Dia meniupnya singkat sebeleum menyeruputnya pelan. Rasa panas dan terbakar berkumpul di lidahnya.
"Keterlaluan," pekik Emy dan menekan-nekan ramyunnya dengan sumpit.
"Jujur saja, aku lebih kaget. Yeonjun dan aku berlatih di studio yang sama tapi kita tidak sedekat itu. Dia punya lingkaran pertemanannya sendiri dan aku? Aku jauh dari radar."
"Tetap saja! Itu tidak sopan. Bukannya mendukungmu, dia malah menjatuhkanmu! Tadinya, aku agak naksir dengannya .. sekarang.."
Jinny melongo. "Kau .. naksir dengannya?"
"Dia tampan! Dan menawan, gara-gara kau cerita begini, aku jadi tidak berminat lagi. Cih." Emy merasakan dadanya berkecamuk. Tidak pernah dia berpikir bahwa karena datang kemari dia punya crush sekarang dia harus menelan pil pahit, karena sosok itu, tidak seperti rupanya yang memukau. "Aku akan mencoretnya."
"Mungkin dia hanya seperti ini kepadaku. Jangan terburu-buru membuat kesimpulan."
"Kau itu sudah seperti sahabatku sekarang, Jinny! Aku tidak terima! Bisa-bisanya dia merendahkanmu, cih, andai aku ada di dekat kalian, akan aku hajar wajahnya."
Jinny sontak terkekeh. "Begitu? Kau berani?" Mereka kembali fokus dengan makanan masing-masing. Jinny juga masih merasa asing dan bingung. Kok bisa ya Yeonjun menganggapnya saingan? Jangankan saingan, rekan saja sudah membuat Jinny minder setengah mati. Yeonjun itu sosok paling digandrugi di studio tari mereka, tidak hanya itu, dia juga punya segudang prestasi. Jadi, jika Yeonjun menganggapnya saingan, wah mungkin Yeonjun agak mabuk tadi.
"Perhatian untuk seluruh peserta kamp, waktu istirahat tinggal sepuluh menit.."
Jinny terbatuk. "Astaga, kita harus bersiap!"
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Matches | txt x secret number
FanfictionBermimpi itu mahal. Jinny Park pikir dia akan debut dengan cepat kemudian mendapatkan penghasilan dari kerja kerasnya. Ternyata, jalan yang dia tempuh tidak semudah itu. Apalagi Lee Soodam, anak dari majikannya, berkali-kali menyeretnya dalam berbag...