CHAPTER DUA
Jinny menggeleng singkat. Mengisi paru-parunya, dia pun memasuki bagian depan studio tesebut dan menunggu. Sebenarnya, Jinny hanya bermodal nekat untuk pergi ke studio baru ke sekolah. Dia takut ada pikiran nakal yang membuatnya mundur lagi, jadi buru-buru saja dia mengejar bus untuk datang kemari, dengan mengenakan seragam dan membawa tas sekolahnya pula.
"Jinny? Hei, selamat pagi."
"Aku ... aku akan bergabung," katanya gemetaran. Mrs. Lim mengajak Jinny untuk terduduk kembali dan memperhatikan bagaimana Jinny sudah meneguk ludahnya dalam. Bahkan, gadis itu pun enggan untuk menatapnya tepat di mata. "Aku sudah dapatkan uangnya."
"Kau baik-baik saja?"
"Tentu," sahutnya dan tersenyum tipis. Jinny mengangkat wajahnya. Tidak pernah dia merasa selega ini, dan entah mengapa, dadanya jauh lebih terasa ringan. Segala penderitaan maupun tangis yang dialami beberapa waktu belakangan nampak mengabur. Aku akan ke sana. Aku bisa ke sana! Jinny ingin meneriaki Tuan Lee jika berani mengatakan bahwa Jinny ini payah, tidak becus dan tidak mampu untuk melakukan banyak hal.
Mrs. Lim pun turut mengulas senyuman kemudian meremas bahu Jinny.
*
*
"Halo?"
Jinny menepi, menahan langkahnya yang hendak menuju kantin. Di sisinya, Soodam masih cemberut. Sejak mereka tiba di sekolah dan Jinny menatapnya, Soodam memang sudah mengomel panjang lebar.Apalagi melihat Yeonjun makin membuat Soodam gemas. "Kalau begitu, aku akan minta Appa agar aku bergabung ke studio tari itu! Aku mau ikut ke sana!" dumelnya untuk beberapa waktu. Jinny sudah kebal akan gerutuan Soodam, maupun kata-kata Soodam. Seolah masuk ke studio tari begitu mudahnya—dia tidak pernah mengerti.
"Apa?"
Soodam terkesiap. "Ada apa?"
Jinny mengigit ujung kukunya. "Ba—baik, aku akan segera minta izin untuk datang ke sana. Mungkin akan memakan waktu setengah jam. Terima kasih," katanya dan menaruh kembali ponselnya. Jinny cepat memandang Soodam yang menunggu. "Aku harus pergi."
"Ke mana?"
"Sekolah Jeongin, katanya ... dia baru saja berkelahi dengan temannya." Akhirnya, Jinny berbelok, enggan untuk mengisi perutnya. Buru-buru dia memacu langkah terburu-buru menuju ruangan guru, kemudian membungkuk kepada satu sosok tersebut. Jinny berbicara dengan cepat dan merasakan hatinya terus menerus kalut. Jeongin bukan anak yang gampang diprovokasi, dia pun menghindari konflik apapun. Jeongin tidak pernah berkelahi, setidaknya, sampai detik ini. Jinny tidak dapat fokus selain mendesak adiknya itu—mengapa kau melakukan itu? Bagaimana bisa kau berkelahi di sekolah?
"Dia yang mulai duluan," jawab Jeongin setibanya Jinny di ruangan guru. Di hadapannya, sudah ada satu guru laki-laki dengan tatapan tajam. Jinny menghempaskan tasnya ke kursi kemudian duduk menghadap adiknya. Jeongin masih enggan untuk menatapnya, sedangkan rahangnya masih mengatup rapat. Sepertinya, enggan untuk menjelaskan lebih lanjut.
"Tapi, mengapa, hah? Apakah kau pikir berkelahi akan menyelesaikan masalah?"
Jeongin hanya menunduk. Jinny beralih kepada guru Jeongin dengan wajah khawatirnya. Dia mengepalkan tangannya. "Bisa aku bicara dengan teman Jeongin itu?"
"Noona! Sudahlah, tidak ada gunanya, pulang saja. Ayo."
"Kau ini ..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Matches | txt x secret number
Hayran KurguBermimpi itu mahal. Jinny Park pikir dia akan debut dengan cepat kemudian mendapatkan penghasilan dari kerja kerasnya. Ternyata, jalan yang dia tempuh tidak semudah itu. Apalagi Lee Soodam, anak dari majikannya, berkali-kali menyeretnya dalam berbag...