01 | Gadis Maroon

22 11 7
                                        

Happy reading!

.
.
.
.
.

Langkah kaki membawanya keluar dari sebuah cafe. Bukan sebagai pelanggan, tapi sebagai seseorang yang sedang melamar pekerjaan. Perlahan dia mendudukkan diri di halte, untuk sekedar istirahat sambil menunggu bus datang. Dia sudah mencoba melamar pekerjaan paruh waktu di setiap cafe yang letaknya tak begitu jauh dari daerahnya tinggal. Namun, satupun tak kunjung diterima.

Pricilla Keyna Abdillah. Gadis cantik dengan gamis panjang dan Khimar lebar, membuatnya susah untuk sekedar mencari pekerjaan. Apalagi sekarang ia masih duduk di bangku SMA, belum ada ijazah, jelas susah mencari kerja, ditambah hijab yang melekat hampir menutupi seluruh lekuk tubuhnya.

Keadaan ekonomi keluarga menuntunnya untuk menjadi lebih dewasa dari usianya. Bahkan usia aslinya belum genap lima belas tahun, tetapi sikap, pembawaan, serta pemikiran jauh lebih dewasa diatas anak-anak seusianya. Di saat teman-teman yang lain sibuk bermain, bercanda ria, menghabiskan waktu untuk sekedar hang out bareng, Pricilla justru sibuk memutar otak. Memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membantu meringankan beban orang tuanya, seraya memperbaiki diri dihadapan Ilahi Rabbi.

Ia selalu bermimpi menjadi lulusan sarjana muda dari jalur beasiswa. Itulah sebabnya ia belajar mati-matian, walau IQ nya bisa dibilang di atas rata-rata. Agar kelak ia bisa membantu perekonomian keluarga, menjadi tulang punggung keluarga dan membiayai kebutuhan keluarga kecilnya.

Hingga saat itu tiba---


Byurr!


Lamunannya tersentak kala wajahnya terkena percikan air kotor dari kubangan yang menggenang di pinggir jalan depan halte tempat ia duduk. Ia lantas berdiri, dilihatnya orang yang mengendarai motor itu--yang membahasi wajahnya dengan air kotor--berhenti di pinggir jalan. Entah merasa bersalah atau hanya sekedar berhenti. Perlahan si pengendara itu berbalik menuju halte, tempat dimana Pricilla berdiri. Korban yang terkena cipratan air kotor akibat aksinya yang mengebut di pinggir jalan dan tak melihat adanya kubangan.

"Lo nggak papa 'kan?" tanyanya begitu sampai di hadapan Pricilla.

Dilihatnya muka gadis itu yang cantik dengan bekas air kotor itu. Bukan bermaksud menghina, tetapi memang benar. Ia tetap cantik walau wajahnya basah akibat air kotor. Ujung jilbab yang basah serta gamis yang penuh dengan bercak cokelat tanah.

Pricilla hanya menunduk, tak berani menatap lelaki itu. Lelaki berseragam SMA yang menjadi pelaku atas kejadian tadi.

"Heh, gue nanya sama lo ini, bukan sama motor gue!" lanjutnya setengah kesal melihat si gadis yang diam, hanya menunduk. Seakan sedang berhadapan dengan monster yang siap menerkamnya.

"I-iya nggak papa. Saya duluan, permisi," jawab Pricilla tanpa menatap sang lawan bicara. Tak sopan memang, namun bagaimana lagi, ia tak punya nyali untuk menatap lawan jenis. Takut hafalannya hilang, begitu pikirnya.

Pricilla segera melangkahkan kakinya pulang. Sia-sia dia menunggu bus sedari tadi, ini sudah hampir petang, pantas bus atau angkot tak kunjung datang. Terpaksa ia pulang dengan berjalan kaki, atau mencari ojek di persimpangan jalan nanti.

"Tunggu!"

Namun baru dua langkah, lengannya sudah dicekal oleh si lelaki tadi. Refleks Pricilla berhenti dan menoleh melihat si pelaku yang masih saja mencekal lengannya yang tertutup manset.

PricillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang