CHAPTER 7

212 21 7
                                    

Langkah kakinya membawanya pada sebuah taman yang cukup ramai. Dia sering kemari seorang diri, menikmati angin sore bersama sinar matahari yang mulai meredup selalu berhasil membuat hatinya tenang.

Seperti hari-hari sebelumnya, dia hanya akan duduk hingga matahari terbenam dan akan kembali setelahnya. Duduk di salah satu bangku panjang yang kosong, dia meletakkan tas dan kantung plastik di sebelahnya. Mengambil air mineral yang sempat ia beli dan meminumnya.

Dia memutuskan untuk menggambar pemandangan taman kali ini. Sudah menjadi kegiatan yang dia suka sejak lama. Menggambar bukanlah perkara yang sulit baginya, dia akan duduk dan mengamati, lalu tenggelam dalam setiap goresan yang dia torehkan.

Sampai pada deritan suara kursi di sebelahnya membuat fokusnya terbagi. Dia menoleh dan mendapati seorang pemuda dengan masker yang menutupi mulut dan hidungnya, beserta topi dan kacamata yang pria itu kenakan. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa takut.

Melihat pria itu menoleh ke arahnya dia segera memalingkan muka. Jantungnya seakan bekerja dua kali lebih cepat, berbagai pikiran buruk juga turut menambah hatinya tidak tenang. Bagaimana jika pria itu pembunuh bayaran.

"Apa aku mengganggumu?"

Mendengar pria itu bersuara, dia yakin pertanyaan itu untuknya. Dia menoleh dan mendapati pria itu telah melepas masker serta kaca mata yang tadi dikenakannya. Dan dia terdiam. Tidak ada ekspresi berarti selain raut datar yang pria itu tunjukkan. Tapi sorot matanya berbeda.

"Kau terganggu?"

Sadar karena telah memperhatikan pria itu terlalu lama, dia merasa malu. Aneh, tapi orang di sebelahnya saat ini entah kenapa terasa seakan merebut semua perhatiannya. Dia memutuskan untuk menjawab pertanyaan yang sejak tadi tidak diindahkan oleh telinganya. "Tidak."

Setelah jawaban itu dia berikan, pria itu justru terdiam, larut dalam pemandangan taman di kala senja. Dia membiarkan, mencoba untuk kembali memfokuskan pikiran dan matanya hanya pada buku di tangannya.

"Kau sering duduk di sini?"

Dia terkejut karena pria itu melontarkan pertanyaan lagi. Selagi dia mencari jawaban yang tepat, mata itu kembali menyorot datar padanya. "Hampir setiap hari, kau sendiri?"

"Pertama kali untukku. Aku hanya kebetulan melewati taman ini dan ingin duduk sebentar."

Bahkan dilihat dari samping pun, dia masih terjerat dalam pesona pria di sebelahnya ini. Meski mata itu sudah tidak menatapnya, tapi rasa gugup dalam dirinya belum sepenuhnya sirna. "Banyak hal menarik di sini. Terutama ketika senja, kau bisa melihat matahari kembali ke tempatnya untuk istirahat."

Atensi pria itu sepenuhnya beralih padanya.

"Kalau bisa, aku ingin seperti itu,"

Entah kenapa dia merasa nyaman berbicara dengan orang ini. Tapi, pernyataan pria itu membuatnya sedikit bingung.

"Seperti matahari. Bisa kembali cerah keesokan harinya meskipun tertutup mendung dihari sebelumnya."

Dia baru sadar kalau sorot mata itu seakan terluka. Hingga mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Dan membuat dirinya tenggelam dalam kehitaman sepasang mata itu.

Dia baru tersadar ketika pria itu berpaling menatap kembali pada matahari yang kian turun tak terlihat. Meninggalkan cahaya jingga yang memenuhi seisi taman.

"Sebelumnya aku tidak pernah berbicara sembarangan dengan orang asing, apalagi dengan seorang gadis."

Masih termenung, menatap pria itu dalam diam tanpa pria itu tahu. Meski begitu, dia mendengarkan setiap kalimat yang pria itu katakan.

Not AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang